Quantcast
Channel: Kuliner Archives - SWA.co.id
Viewing all 8347 articles
Browse latest View live

Komunitas Pebisnis Bandung: Amaro Cheese Cake – Lezat di Lidah, Indah di Pandang


Menanti Teater Pizza di Domino’s Pizza

BFTF Padukan Teknologi, Musik dan Kuliner

$
0
0
Lucky Gani (tengah), Business Group Head, Windows Division Microsoft Indonesia.

Lucky Gani (tengah), Business Group Head, Windows Division Microsoft Indonesia.

Jumat sore Bandung dihiasi dengan belasan mobil unik yang parkir di halaman Kawasan Graha Mekar Wangi (27/2). Sebuah pemandangan indah tertata rapi di sana, puluhan pemuda-pemudi menyajikan beragam menu hidangan dari dalam mobil yang diparkirkan bersamaan dengan pembukaan acara Bandung Food Truck Festival (BFTF). Sebuah acara bisnis kuliner perdana di Indonesia yang menggabungkan antara teknologi dan musik dalam satu event yang sama.

Acara yang digelar oleh komunitas food truck di Bandung ini merupakan kolaborasi antara Microsoft dengan Phire Studio, sebuah pengembang aplikasi yang mengeluarkan aplikasi EvolvePOS untuk UKM. Selama acara sejak 27 Februari-1 Maret 2015, peserta food truck dapat menikmati keunggulan dan kemudahan aplikasi EvolvePOS yang sangat membantu mereka dalam proses transaksi bisnis dengan harga yang sangat terjangkau.

Teknologi sistem manajemen cash modern berbasis Windows 8.1 ini, menggabungkan berbagai kelebihan mesin cash register (kasir) regular dengan sistem POS (Point of Sales) yang didukung oleh teknologi Microsoft Azzure dengan lauanan bussiness intelligent yang memungkinkan proses pengolahan data transaksi jual-beli secara cepat, akurat dan mudah. Tidak hanya itu, seluruh data yang masuk akan otomatis tersimpan dalam cloud, sehingga keamanan data bisnis terjamin aman dan dapat meminimalisir kehilangan data akibat kesalahan sistem atau perangkat.

“Sebagai main sponsor dalam event ini, merupakan bagian dari komitmen Microsoft untuk membantu UKM di Indonesia agar semakin maju dan produktif dalam mengadobsdi teknologi cloud. Dengan menerapkan aplikasi EvolvePOS ini, UKM kuliner diharapkan dapat meminimalisir belanja modal, biaya operasional dapat lebih efisien dan dapat meningkatkan pendapatan bisnis mereka,” ujar Lucky Gani, Business Group Head, Windows Division Microsoft Indonesia.

Henke Yunkins, Business Development Manager Phire Studio menjelaskan, tidak hanya pelaku bisnis kuliner yang dapat memanfaatkan EvolvePOS ini. Berbagai bisnis seperti fashion dan pernak-pernik juga dapat memanfaatkan teknologi ini. Karena teknologi bagi Henke adalah milik semua orang, jadi sudah saatnya pelaku UKM memanfaatkan teknologi dalam bisnis tidak hanya kalangan high class saja.

“Di tengah perkembangan bisnis food truck, kehadiran EvolvePOS sangat membantu. Seperti halnya food truck yang dapat mobile ke mana saja, teknologi EvolvePOS pun mudah dibawa ke mana saja dan harganya sangat-sangat terjangkau,” tambah Henke.

Lebih detail, Hende menjelaskan untuk mendapatkan mesin kasir dengan softwarenya, biasanya harus mengeluarkan dana sebesar Rp 20 juta. Dengan kehadiran EvolvePOS ini, biaya yang dikeluarkan hanya Rp 3 juta include tablet berbasis Windows 8.1.

Nomad Truck, salah satu Food Truck dengan kreasi mobil bekas yang meramaikan BFTF

Nomad Truck, salah satu Food Truck dengan kreasi mobil bekas yang meramaikan BFTF

Selama acara pengunjung yang hadir dapat menikmati hidangan di BFTF sambil mendengarkan live musik, kontes food photography, demo masak hingga workshop. Para pengunjung juga berharap agar event menarik seperti BFTF ini dapat terus diagendakan setiap tahunnya, tidak hanya di Bandung tapi juga di berbagai kota di seluruh Indonesia. (EVA)

The post BFTF Padukan Teknologi, Musik dan Kuliner appeared first on Majalah SWA Online.

SamWon Group, Asa Albert Populerkan Kuliner asal Korea

$
0
0

Orang asli Indonesia mungkin sangat jarang atau bahkan ogah mencicipi masakan asal Korea. Ada sejumlah persepsi miring di masyarakat tentang kuliner asal Negeri Ginseng ini, antara lain, harganya mahal, mengandung babi sehingga tidak halal, dan rasanya aneh sehingga tidak cocok di lidah orang Indonesia. Namun, justru ini yang membuat Albert Sentosa kian mantap ingin membuka usaha masakan asal Korea. Di bawah bendera SamWon Group, pria yang pernah menjalankan bisnis jok kulit mobil ini punya tekad kuat untuk mempopulerkan kuliner asal Korea di Tanah Air.

Ia bukan ikut-ikutan demam Korea saat membangun SamWon di tahun 2010. Kala itu, K-Pop memang belum booming di Tanah Air. Banyaknya boyband dan girlband yang meniru gaya artis asal Korea memang baru muncul di tahun 2012. Nama SamWon yang dipilih juga tak punya arti khusus. “Hanya nama biasa saja. Bukan nama tokoh atau sosok tertentu di Korea. Ya, seperti nama panggilan Budi atau nama yang umum lainnya di Indonesia. Samwon adalah nama panggilan yang sudah akrab di telinga masyarakat Korea,” ujarnya.

Albert memang penyuka kuliner dari banyak negara. Saat kuliah di Australia, ia sudah mencicipi aneka masakan mancanegara. Maklum, penduduk di Negeri Kangguru heterogen. Hampir semua bangsa di dunia ada di sana sehingga penduduk aslinya malah menjadi minoritas. Ia merasa cocok di lidah saat mencicipi masakan asal Korea dan Jepang. “Saat pulang, sudah banyak kuliner asal Jepang di Indonesia. Sebaliknya, masakan Korea belum banyak. Jadi, prospeknya bakal bagus,” katanya.

albert

Albert Sentosa, Owner SamWon Group

 

Berbekal pengalaman magang di restoran besar semacam KFC dan McDonald’s saat menimba ilmu di Negeri Kangguru, Albert bertekad membangun usaha masakan asal Korea di Tanah Air. Ia tak ragu meski kedua orang tuanya tak ada yang pernah berbisnis di bidang kuliner. Langkah pertamanya adalah menggandeng tiga koki berpengalaman dan pernah menetap di Korea selama 20 tahun. “Jadi, mereka paham betul dengan resep dan konsep menu masakan khas Korea. Kami juga fokus menghadirkan masakah dengan cita rasa yang mengadopsi rasa internasional,” ujarnya.

Untuk mengubah perspektif miring di masyarakat tentang masakan asal Korea, SamWon menawarkan harga yang terjangkau antara Rp30-40 ribu per porsinya. Daging yang digunakan juga bukan daging babi agar masakannya halal dan bisa diterima masyarakat. Rasanya pun, kata Albert, disesuaikan dengan lidah masyarakat Indonesia. “Urusan untung saat itu masih nomor dua. Kami memperkenalkan dulu resep dan konsep kami pada masyarakat. Total investasi yang kami keluarkan sekitar Rp1,5-2 miliar, paling besar untuk desain interior sekitar Rp1 miliar,” katanya.

Upaya Albert berbuah manis. Untuk SamWon House (restoran), saat ini omsetnya rata-rata Rp 350-400 juta perbulan. Sementara, omset SamWon Express (fastfood) mencapai Rp 150 juta perbulan dan K-Drink SamWon (minuman bubble) sebesar Rp 100 juta perbulan.

The post SamWon Group, Asa Albert Populerkan Kuliner asal Korea appeared first on Majalah SWA Online.

SamWon Group Akan Buka 20 Gerai Baru

$
0
0

Prospek bisnis kuliner asal Korea di Indonesia masih cerah. Albert Sentosa mewujudkan mimpinya membangun bisnis tersebut lewat bendera SamWon Group di tahun 2010. Adapun lini bisnisnya, yakni SamWon House dengan konsep restoran yang menawarkan menu-menu barbeque yang kini menempati lahan seluas 200 m2 di Jakarta dan Surabaya. Kemudian, SamWon Express, yakni gerai fastfood SamWon jumlahnya paling banyak, yakni dua di Puri Indah dan Plaza Indonesia. Lainnya adalah franchise SamWon Express yang kini menyebar di Central Park, Mal Kelapa Gading, Citraland, WTC Jambi, Summarecon Mal Serpong, dan yang sedang dalam tahap renovasi dan akan hadir tahun ini di Medan dan Lampung.

Terakhir, ada K-Drink SamWon yang menawarkan minuman bubble segar yang berlokasi di Tangerang City. Untuk yang tidak sabar menikmati kesegarannya bisa mengunjungi lima outlet-nya yang tersebar di Central Park, Plaza Indonesia, Puri Indah Mall, Mal Kelapa Gading, dan Mal Ciputra. “Target kami, setiap tahun ada tambahan gerai yang signifikan. Pada pertengahan tahun ini, sudah disiapkan lokasi di Grand Indonesia. Total, ada rencana penambahan 20 gerai baru di seluruh Indonesia,” katanya.

Albert Sentosa, Owner SamWon Group

Albert Sentosa, Owner SamWon Group

Albert mengajak mitra investor yang serius dan tertarik ikut terjun ke dalam usaha waralaba kuliner dan K-Drink SamWon, masakan Korea yang halal, dengan investasi mulai dari Rp500 juta. Untuk membuka gerai K-Drink, investasinya hanya Rp359 juta. “Itu sudah termasuk operasional dari kami, mulai dari menu, resep, dan staf. Namun, untuk administrasi menjadi tanggung jawab mitra pewaralaba,” ujarnya.

Pihak mitra pewaralaba akan mendapat keuntungan menarik. Dari nilai investasi akan Break Even Point (BEP/balik modal) antara 6-12 bulan, tergantung lokasi outlet, kunjungan pembeli, dan daya beli masyarakat. Untuk menarik minat para investor, Albert mengaku banyak berpromosi di media, menyebar brosur, termasuk mengikuti beberapa pameran usaha waralaba di Jakarta, dan kota-kota besar lainnya di Indonesia. “Harapannya, Samwon menjadi restoran Korea terbesar di Tanah Air, sekaligus mengubah stigma negatif masakan korea yang mahal harganya, tidak halal, dan tidak cocok dengan selera masyarakat Indonesia,” ujarnya.

Bisnis kuliner asal Korea ini adalah bisnis kedua Albert. Usai menimba ilmu di Australia, ia membuka usaha sendiri. Ia tertarik membuka usaha waralaba aksesoris mobil saat menghadiri pameran waralaba di Jakarta Convention Center. Dengan investasi sebesar Rp300-400 juta, ia memulai bisnis jok kulit mobilnya. Namun, bisnisnya tak berjalan sesuai rencana. Selama enam bulan berkecimpung di bisnis tersebut, modalnya tak kunjung balik. Hingga, akhirnya ia memutuskan banting setir dan membuka usaha masakan Korea lewat bendera SamWon Group.

The post SamWon Group Akan Buka 20 Gerai Baru appeared first on Majalah SWA Online.

Boga Group Gandeng Citi Garap Pasar Middle Up

$
0
0

BOGA 2

Bertempat di Paradise Dynasty Plaza Senayan (8/4) Boga Group menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) dengan Citi Indonesia. Kerja sama dengan periode Maret 2015-Maret 2016 ini merupakan kemitraan pemasaran strategis antara Boga Group dan Citi Indonesia.

“Penandatangan MoU ini merupakan awal dari jalinan kerja sama yang berkesinambungan dan berkelanjutan. Kami sangat senang dapat menjadikan Citi sebagai mitra kunci utama dalam melayani kebutuhan para pelanggan dan penikmat kuliner di Indonesia,” kata Kusnadi Rahardja, CEO Boga Group.

Ketika ditanya mengapa memilih Citi, Kusnadi menjawab bahwa Boga Group dan Citi sama-sama memiliki segmen konsumen yang sama, yaitu kelas menengah ke atas. Selain itu, Citi memiliki data mining yang baik dan detail mengenai konsumen yang dapat dipelajari. “Kami mempunyai Big Data yang baik. Contohnya kami dapat menganalisa kelompok mana yang sering berbelanja di Boga Group, respon konsumen jika kita mengeluarkan promo-promo tertentu,” kata Ida Apulia Simatupang, Director and Deputy Cards and Loans Business Head Citi Indonesia.

Tahun ini Citi berfokus kepada everyday spent seperti dining dan shopping. “Pengeluaran everday spent untuk food dan shopping dengan kartu kredit mempunyai porsi 50%. Oleh karena itu tahun ini kami akan berfokus kepada kategori ini,” ujar Ida.

Bentuk kerja sama antara Boga Group dan Citi dimulai dengan memberikan diskon 20% hingga akhir Apriil 2015 untuk pengguna kartu kredit dan debit Citi yang dapat dinikmati di seluruh outlet Boga Group seperti Pepper Lunch, Paradise Dynasty, Bakerzin, Paradise Inn, Canton Paradise, dan Master Wok. Di bulan Mei hingga Desember 2015, Boga Group dan Citi akan mengadakan program Fri-Yay setiap hari Jumat dimana pengguna kartu kredit dan debit Citi dapat menikmati menu kesukannya secara gratis. Ida menargetkan transaksi kartu kredit di seluruh outlet Boga Group dapat meningkat lebih dari 50% di 2015.

Boga Group didirikan pada Juli 2002, dengan gerai pertamanya Bakerzin, yang diluncurkan pada bulan November 2002. Disusul oleh gerai Pepper Lunch diluncurkan pada bulan Agustus 2006, Paradise Dynasty pada Juni 2011, Paradise Inn pada Juni 2012, dan Canton Paradise pada November 2013. Saat ini, terdapat 70 outlet yang tersebar di Jakarta, Medan, Palembang, Bandung, Jogja, Surabaya, Bali, dan Makasar dengan total pegawai sebanyak 2.000. Tahun ini direncanakan akan membuka outlet lagi di Pekanbaru, Balikpapan, dan Manado. Biaya investasi untuk membuka satu outlet sangat bervariasi, misalnya untuk pembukaan gerai Pepper Lunch di Food Court, membutuhkan investasi sekitar Rp 2 miliar.

Pada tahun 2009, seluruh outlet Pepper Lunch di Indonesia berhasil memperoleh sertifikasi HACPP (Hazard Analysis and Critical Control Points) atau Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik Kriti. Tahun 2011 seluruh outlet Bakerzin mendapatkan sertifikasi HACPP ini. Sayangnya, gerai-gerai Boga Group ini belum mendapatkan sertifikasi Halal dari MUI. Namun, Kusnadi memastikan bahwa terdapat 2 dapur yang terpisah jika salah satu restaurant terdapat menu pork. “Kami mempunyai 2 dapur yang terpisah. Contohnya Paradise Dynasty ini ada menu porknya, kita buat 2 dapur yang terpisah. Saat ini kami sedang mempelajari tentang Halal. Tapi memang prosesnya tidak mudah,” tambah Kusnadi.

Mengenai tantangan dunia kuliner ke depan, Kusnadi mengatakan harus bisa jeli mengerti tren-tren kuliner yang konsumen inginkan dan menjaga kualitas. “Boga Group berkomitmen untuk menjadi front liner. Kami sering bepergian keluar negeri untuk meneliti tren mana yang kira-kira dicari oleh penikmat kuliner di Indonesia. Kami juga selalu menjaga kualitas makanan kami dan kami selalu memperhatikan hal-hal kecil seperti packaging produk,” ujar Kusnadi. Kusnadi menambahkan bahwa tahun ini omset Boga Group dapat naik 8%. (EVA)

The post Boga Group Gandeng Citi Garap Pasar Middle Up appeared first on Majalah SWA Online.

Nikmat & Lezatnya Bisnis Resto: Banyak Melahirkan Pemain Kakap & Pebisnis Muda (SWA Edisi 03/2014)

$
0
0
Nikmat & Lezatnya Bisnis Resto: Banyak Melahirkan Pemain Kakap & Pebisnis Muda (SWA Edisi 03/2014)

Nikmat & Lezatnya Bisnis Resto: Banyak Melahirkan Pemain Kakap & Pebisnis Muda (SWA Edisi 03/2014)

SWA Edisi 03/2014

Nikmat & Lezatnya Bisnis Resto
Banyak Melahirkan Pemain Kakap & Pebisnis Muda.

Yang dulu sempat dianggap usaha sampingan kini menjadi bisnis serius dan melahirkan raja-raja dengan skala aduhai. Bintang-bintang baru di bisnis kuliner terus bermunculan di seluruh pelosok negeri ini, baik yang menyajikan menu internasional maupun lokal. Dan, seperti halnya di bisnis lainnya, kunci sukses mereka sama: dikelola secara serius dan profesional. Siapa dan bagaimana geliat mereka? Apa dan siapa bintangnya? Dan aspek apa sajakah yang membuat bisnis resto mereka berkembang?

“Bisnis Kuliner Memang Kurih Lho…”
Bintang-bintang baru di bisnis kuliner terus bermunculan di seluruh pelosok negeri ini, baik yang menyajikan menu internasional maupun lokal. Dan, seperti halnya di bisnis lainnya, kunci sukses mereka sama: dikelola secara serius dan profesional.

“Strategi Philip Terangi Pasar Lampu”
Lewat inovasi produk dan kreativitas kampanyekomunikasi pemasaran, Philip memeprtaruhkan kekuatannya sebagai pemimpin pasar di industri lampu. Seperti apa usaha Philips dan bagaimana hasilnya?

“Pertaruhan Besar Samy di NTT”
Meski sempat bangkrut total, Samuel Kristianto Luan berhasil bangkit menjadi pebisnis properti. Bahkan, pengusaha merangkap motivator itu kini membesut proyek properti terakbar di Kupang, Nusa Tenggara Timur, senilai Rp 3 triliun

“Kisah Tinker Games Terobos Pasar Jepang”
Satu lagi pengembang game yang layak diperhitungkan terbit dari Bandung: Tinker Games. Game ini dibesut empat mahasiswa Institut Teknologi Bandung. Meski pendatang baru, salah satu game andalan mereka, Inheritage, sempat menduduki peringkat pertama Top Paid Apps di AppStore. Bagaimana kisahnya?

EKONOMI & BISNIS

INVESTASI
“Menakar Potensi Untung Saham Top Loser”
Saham top loser, memang kesanya negatif. Kerugian yang besar. Namun, terkadang, harga yang turun cukup banyak itu berarti saat yang tepat untuk belanja. Saham apa sajakah yang dapat dipertimbangkan?

INTERNASIONAL
“Strategi Cantik Google Menggenggam Dunia”
Mengawinkan keunggulan yang telah dimiliki – teknologi supercanggih, database luar biasa kaya, jangkauan global – dengan interface yang cantik, Google Inc. melahirkan mimpi buruk bagi para pesaingnya. Inilah cerita di balik sukses Google merebut pasar ponsel cerdas, tablet, dan PC.

ENTREPRENERSHIP
Industri Persenjataan
“Jenderal “Marketer” Industri Pertahanan”
Bagaimana Jenderal Sjafrie memainkan perannya sebagai “Chief Marketing Officer” di pasar industri persenjataan global, dan sekaligus ikut membangun sistem pertahanan nasional yang kokoh?

INDONESIA YOUNGSTER INC.

START UP
Tinker Games

ENTREPRENEUR
Leonardo Kamilius

SELF EMPLOYED
Aphrodita Wibowo

SIAPA DIA
Andina Badri
Sharin Djamal


Read more on Google+

Read more on Facebook


SWA Magazine Subscription [http://swa.co.id/subscription]
SWA Digital Magazine Subscription and Download [http://swa.co.id/digitalmagazine]
SWA Mobile Apps Download [http://swa.co.id/mobile]

The post Nikmat & Lezatnya Bisnis Resto: Banyak Melahirkan Pemain Kakap & Pebisnis Muda (SWA Edisi 03/2014) appeared first on Majalah SWA Online.

Farah Quinn: Profesi Chef di Indonesia Sangat Menjanjikan

$
0
0

Farah Quinn tak ubahnya seorang selebritis berkat acara masak-memasak yang pernah diasuhnya di sebuah televisi swasta. Parasnya yang cantik dan body-nya yang seksi membuat para pemirsa langsung jatuh hati. Wanita berwajah eksotik ini pun langsung tenar. Tawaran menjadi bintang iklan berbagai produk pun mengalir. Bagaimana Farah mengawali kariernya di dunia kuliner? Ibu dari seorang putra inimemaparkannya kepada Rangga Wiraspati berikut ini:

FarahQuinn2

Mengapa tertarik menekuni profesi chef?

Dari kecil kira-kira umur 5 tahun saya sudah hobi membantu ibu saya dalam memasak. Ketika saya semakin besar, ibu saya beberapa kali mengambil kursus membuat kue dan saya ikut di bawa. Saat ibu kursus, saya memperhatikan. Jadi sejak saat itulah kecintaan saya terhadap dunia masak-memasak terus tumbuh. Namun, keinginan saya untuk menjadi chef belum ada. Saya pernah ikut pertukaran pelajar ke Amerika Serikat ketika saya masih sekolah, waktu itu pun keinginan menjadi chef belum tumbuh.

Apa background pendidikan Anda?

Saya mengambil jurusan Ilmu Keuangan di Indiana University of Pennsylvania. Sewaktu kuliah saya suka memasak makanan dan kue-kuean untuk sesama housemate, waktu itu kita tinggal berlima dan semuanya wanita. Salah satu housemate saya bilang bahwa saya sangat pintar memasak. Ia bilang bahwa ada temannya yang bekerja sebagai pastry chef, sehingga menurutnya saya seharusnya bisa jadi chef. Saya cukup terkejut bahwa ada profesi bernama pastry chef. Dari situlah saya mulai terpikir akan profesi chef dan mengerti tentang passion/gairah terhadap dunia kuliner. Saya pikir hidup terlalu pendek jika kita menghabiskan waktu untuk bekerja saja tanpa mengikuti sesuatu yang bisa membuat kita benar-benar bahagia. Sejak itu saya terpikir untuk mengambil kelas dan kuliah memasak. Kebetulan di masa saya akhir kuliah, tahun 1997/1998, Indonesia mengalami krisis moneter.

Orang tua saya tidak bisa membiayai kuliah dan hidup saya di AS, sehingga mereka berkata jika saya ingin terus hidup di AS, saya harus membiayai sendiri hidup saya. Saya pikir jika saya harus membiayai kuliah saya sendiri, maka seharusnya saya mengambil jurusan yang saya suka. Kemudian, saya mendaftar jurusan pastry arts di Pennsylvania Culinary Institute. Saya kuliah di sana selama dua tahun, dari 1999 sampai 2001. Saya pikir meskipun belum tentu terpakai di dunia profesional, ilmu pastry arts saya bisa tetap terpakai dalam hidup. Sambil kuliah pastry arts full time, saya juga bekerja full time di restoran setempat sebagai pelayan, pembersih meja, dan buzzer, untuk membiayai kuliah. Selain di restoran setempat, saya juga sempat magang di dapur kue sebuah restoran bernama Lidia’s Pittsburgh.

Farahquinn

Bagaimana perjalanan kariernya di profesi itu?

Pada akhir 2001, saya ikut internship (magang) di hotel Arizona Biltmore. Saya bekerja sebagai staf dapur. Untuk mencapai posisi chef diperlukan waktu yang panjang, karena jabatan chef satu level dengan manajer. Kita harus memulai dari posisi koki (cook). Dari posisi koki di pastry kitchen, perlahan-lahan posisiku naik ke pastry assistant. Selain di Arizona Biltmore, saya juga bekerja di restoran Jepang bernama Zen 32. Di tahun 2005, saya bersama beberapa teman mendirikan sebuah restoran bernama Camus, di Phoenix, Arizona. Pada saat itulah saya menempati posisi pastry chef.

Bagaimana Anda memoles dirinya hingga menjadi the best di bidang itu?

Untuk mengasah skill dan knowledge tentunya kita harus banyak latihan. Saya banyak belajar selama saya bernaung di bawah para pastry chef di restoran tempat saya bekerja. Semua chef dari tempat saya kuliah sampai tempat saya bekerja merupakan mentor saya, merekalah yang memberi saya keahlian memasak pastry. Tetapi, skill yang didapat dari tempat kuliah dan tempat bekerja benar-benar berbeda.

Selain itu, di AS banyak sekali kesempatan bagi kita untuk menambah pengetahuan lewat kelas-kelas dan kursus singkat. Biasanya banyak chef terkenal yang tur ke kota-kota di AS dan membuka kelas. Saya sendiri pernah belajar dengan salah satu chef terkenal bernama Chef Ewald Notter tentang coklat dan gula. Sama seperti profesi dokter, kita sebagai chef harus sering mengikuti seminar, kelas, atau acara-acara yang menunjukkan teknik-teknik memasak yang baru. Permasalahannya sekarang, saya sudah lima tahun berprofesi sebagai chef di televisi nasional, sehingga ilmu-ilmu yang saya tunjukkan di televisi adalah ilmu yang saya terima sejak kuliah dulu. Saat ini belum ada kesempatan bagi saya untuk mempelajari trik memasak baru, padahal belajar trik baru ada di to-do-list saya. Makanya, saat ini saya sedang cari-cari kesempatan untuk cuti kerja selama tiga bulan, misalnya, untuk mengambil kursus-kursus memasak singkat bagi para profesional, mungkin di Eropa atau AS.

Seberapa menarik profesi chef dari sisi finansial?

Di Indonesia profesi chef terus berkembang. Perkembangan industri kuliner di Indonesia sangat bagus. Dalam beberapa tahun terakhir, kita melihat pertumbuhan pesat bisnis restoran di kota-kota besar Indonesia, acara-acara memasak di televisi juga sudah menjamur. Buat saya, kesempatan berkarier di dunia kuliner Indonesia sangat besar. Kalau soal uang, menurut saya jika Anda memutuskan terjun di industri kuliner maka Anda harus benar-benar mencintai dan menjiwainya. Jika Anda terjun di dunia kuliner hanya untuk mencari uang, mungkin Anda harus mencari pekerjaan lain. Terkadang Anda harus bisa menerima kenyataan bahwa bayaran Anda tidak sesuai dengan jerih payah yang Anda berikan.

Farah (utama)

Jika Anda bisa mengelola bisnis kuliner Anda dengan pintar dan cermat, peluang Anda besar untuk meraih pendapatan dalam jumlah besar. Oleh karena itu Anda harus turun langsung dalam bisnis kuliner Anda. Tetapi jangan berpikir jika Anda akan meraih pendapatan yang besar ketika Anda sudah selesai belajar di kuliah kuliner. Saya pun memulai semuanya dari posisi paling bawah. Untuk menjadi chef yang sukses Anda perlu mengetahui jenis kuliner yang benar-benar Anda cintai, karena banyak sekali jenis kuliner yang bisa Anda eksplorasi. Untuk chef biasa saja, banyak sekali jenis spesialisasinya, mulai dari traditional food sampai fine dining.

Jika Anda sudah berpengalaman sebagai chef, menurut saya Anda perlu membuka restoran sendiri atau bekerja di restoran yang sudah terkenal. Bagi saya memiliki restoran sendiri adalah impian setiap chef. Tapi harus diingat, dari pengamatan saya, hanya satu dari 10 restoran yang baru dibuka yang bisa bertahan. Jadi jangan dikira bisnis kuliner adalah bisnis mudah. Ia berisiko tinggi, memakan banyak waktu, dan menyita hampir seluruh perhatian kita. Jika Anda tidak punya passion di kuliner, kemungkinan besar Anda akan gagal.

Apa ukuran keberhasilan seorang chef?

Bagi saya, seorang chef berhasil ketika ia sudah membuat namanya terkenal karena prestasi di bidang kulinernya. Tentunya seorang chef juga berhasil ketika ia sudah mapan secara finansial.

Bagaimana menurut Anda masa depan profesi yang digelutinya?

Profesi chef akan semakin menjanjikan. Orang tidak akan pernah berhenti makan, jadi peluang untuk profesi chef akan tetap ada, karena industri kuliner susah mati. Meskipun tren masakan akan selalu silih berganti, namun industri kuliner akan tetap ada sampai kapan pun.

Apakah ia akan tetap setia di jalur profesinya?

Tentu saja, profesi chef sudah ada di hati saya, tidak akan berpikir profesi lain lagi.

Apa suka dan dukanya?

Sukanya banyak sekali, karena saya sangat nyaman dengan profesi yang saya jalani, saya sangat suka berada di dapur. Saya juga berkesempatan menjadi chef di televisi nasional, yang membuka banyak pintu kesempatan untuk saya untuk travelling, bertemu banyak pelaku industri kuliner dan bisa mencoba beragam jenis makanan. Dukanya adalah industri kuliner merupakan industri yang berat untuk dijalani. Saya harus memulainya dengan kerja keras dari posisi terbawah. Bekerja di dapur profesional merupakan pekerjaan yang benar-benar menantang, sebab saya tidak boleh duduk selama satu shift, yang bisa merentang dari delapan sampai 15 jam. Anda harus benar-benar fokus dengan apa yang Anda kerjakan. Kita harus bekerja dengan cepat dan waktu istirahatnya sedikit. Jadi profesi koki dan chef sebenarnya bukan pekerjaan yang penuh glamor, belum lagi jika bayarannya tidak sesuai. Namun jika ingin sukses, semua itu harus dilalui. Anda tidak boleh kehilangan fokus. (***)

The post Farah Quinn: Profesi Chef di Indonesia Sangat Menjanjikan appeared first on Majalah SWA Online.


Bumbu Desa: Juru Masaknya dari Desa-desa Priangan Timur

$
0
0

Setelah sukes mendirikan resto Kampung Sampireun, Arief Wangsadita tergerak untuk mendirikan restoran dengan menu makanan Sunda. Alasannya, cita rasa makanan Sunda bisa diterima masyarakat Indonesia. Maka, pada 2004 pun berdiri gerai pertama Restoran Bumbu Desa di Bandung. Sejak itu, pertumbuhannya terus melaju, hingga ekspansi ke Malaysia dan siap-siap membuka outlet di Melbourne (Australia) dan Vancouver (Kanada). Bagaimana lika-liku Arief Wangsadita mendirikan Bumbu Desa? Semua dituturkan Arief kepada Mochamad Januar Rizki:

Bumbu Desa

Bagaimana latar belakang berdirinya Bumbu Desa pada 18 September 2004?

Latar belakangnya, saya melihat banyak makanan Sunda belum dikonsumsi secara komersial. Sifatnya masih sekadar di meja-meja keluarga. Padahal, banyak menu makanan Sunda yang sudah ada sejak dulu masih dikonsumsi hingga generasi muda sekarang. Karena belum dikomersialkan secara masif, sehingga ada kesempatan restoran Sunda ini yang menyediakan makanan lokal dan banyak orang suka untuk dikomesialkan.

Ini berawal dari pendapat subjektif saya. Masakan Sunda memiliki taste yang bisa diterima di Indonesia. Selain itu, gestur atau gaya bahasa tubuh orang Sunda juga dinilai memiliki kelebihan sopan santun, misalnya saat menjamu tamu yang masuk ada salam dalam bahasa Sunda wilejeung sumping.

Saya bukan orang yang berpengalaman di bidang bisnis kuliner, saya dulu bergerak di bidang bisnis perhotelan. Sebelum Bumbu Desa, saya membuat Kampung Sampireun. Pada saat awal Bumbu Desa ini berdiri adalah hasil pemikiran kolektif dari orang-orang yang berada di lingkar saya, seperti istri hingga ibu. Saya bertindak sebagai pengambil keputusan. Kami juga menggunakan advisor dari konsultan. Pusat pertama berdiri berada di Jalan Riau, Gerai Laswi, Bandung pada tahun 2004.

Produk-produk budaya sunda keseharian tersebut saya kombinasikan, dari gaya bicara hingga masakan. Kami juga memadukan budaya pedesaan, seperti petani dan sawah dalam restoran dalam bentuk gambar-gambar. Kebetulan pada tahun 2004, saat Bumbu Desa berdiri, hal-hal seperti ini masih dianggap baru. Dan, saya pikir Bumbu Desa dengan menu makanan Sundanya mampu diterima di mana pun.

Jadi yang membedakan Bumbu Desa dengan lainnya, kami mem-packaging restoran dengan cara menampilkan budaya Sundaya tidak sekadar makanan saja tapi juga uncontemporer seperti tempat yang bersih. Tahun-tahun awal perkembangan Bumbu Desa pesat sekali, kami buka cabang di Surabaya pada 2005. Di Surabaya kami mampu bersaing dengan restoran- restoran oriental atau chinesse food yang juga lagi booming. Kami sampai sekarang masih eksis di sana.

Bumbu Desa (tegak)

Siapa target pasar yang dibidik? Berapa rata-rata harga per menu? Rata-rata pengunjunga per harinya?

Sasarannya Bumbu Desa rata-rata yang datang adalah kelas menengah. Tapi orang yang banyak duit pun juga datang. Untuk harga per menu sekitar Rp 50 ribu hingga Rp 75 ribu. Rata-rata pengunjug per outlet-nya bervariasi ada yang 100 orang per hari hingga 400 orang. Untuk cabang-cabang di Malaysia, biasanya bisa mencapai 100 ribu. Selain pengunjung, pelanggan kami juga banyak dari katering. Hampir sama jumlahnya.

Untuk menggerakkan bisnis kuliner, diperlukan tenaga yang ahli seperti juru masak hingga pramusaji. Bagaimana awal-awal Anda memenuhi kebutuhan SDM tersebut?

Kami SDM kebanyakan dari daerah-daerah sekitar Parahyangan timur, Garut, Tasik, Ciamis. Kami mendapatkan ahli-ahli masak bukan dari lulusan pendidikan formal. Tapi dari pembantu- pembantu rumah dari desa. Cara kerja mereka masih cara kerja rumah tangga. Dikasih meja enggak bisa kerja seperti itu, tetapi mereka kerja sambil duduk di lantai.

Kami memilih juru masak dari desa karena bicara kuliner semua asal muasalnya dari desa. Tujuannya, saya ingin desa itu punya arti buat kita. Jadi, berasal dari desa bukan sekadar dari genetika tapi juga makanannya. Ini juga yang membuat saya menamakan restoran ini Bumbu Desa. Kini karyawan Bumbu Desa mencapai hampir 5 ribu orang dari awalnya hanya 67 orang. Sedangkan Chef sendiri total ada seribu orang termasuk yang sudah keluar dari awalnya hanya delapan orang. Kini satu outlet ada sekitar 12 orang chef.

Bagaimana perkembagan Bumbu Desa dari awal berdiri hingga sekarang ini?

Tahun pertama, kami hanya punya dua outlet, Laswi dan Pasir Kaliki. Lalu tahun kedua, kami menambah sekitar 15 outlet. Untuk Jakarta ada 17 outlet. Untuk luar negeri, kami memiliki cabang di Malaysia sebanyak 6 outlet. Saat ini jumlah keseluruhan outlet kami ada 78 outlet. Pada tahun 2014 ini kami berencana membuka cabang di Vancouver, Kanada dan Melbourne, Australia. Mudah-mudahan tahun ini mulai running. Sudah ada yang menawarkan untuk membuka di London, Paris dan New York. Investornya juga sudah ada. Namun tempatnya kurang bagus sesuai dengan yang saya inginkan. Kami masih mencari lokasi yang bagus. Kami harus jelas dulu lokasinya di sana di mana. Kami tidak mau karena lokasinya. Selain sebagai portofolio Bumbu Desa, kami tidak ingin asal-asalan membawa nama Indonesia di luar negeri.

Untuk pertumbuhan omzet, Bumbu Desa dari tahun ke tahun mengalami perkembangan. Pertumbuhan per tahun kurang lebih mencapai 30 persen tiap tahun. Pertumbuhan cukup signifikan pada tahun 2010. Tahun itu merupakan booming-nya bisnis kuliner. Bumbu Desa saat itu membuka 12 cabang.

Saya juga pernah diajak oleh Dirut suatu BUMN untuk presentasi di depan karyawannya yang mau pensiun, seratus orang yang hadir ingin investasi di Bumbu Desa. Bisa dibayangkan untuk franchise fee-nya saja sekitar Rp 400 – Rp 500 juta. Kalikan saja 50 orang. Saya bisa mendapat Rp 40 miliar. Tapi bukan itu yang saya mau. Karena tidak semua orang yang mau mengelola langsung.

Untuk memenuhi kebutuhan bahan baku tiap harinya, Bumbu Desa melakukan pembinaan kepada penyuplai. Seperti para suplier ayam, ikan. Kami juga melakukan kerja sama dengan yayasan rumah yatim yang anak-anaknya bisa melakukan praktik kerja di Bumbu Desa.

Bagaimana mengelola agar bisnis resto ini bisa berkesinambungan?

Untuk pengertian berwirausaha adalah tindakan yang komprehensif dari beberapa hal. Paling utama adalah relationship dengan karyawan. Saya sampaikan kepada karyawan, Bumbu Desa seperti sekolah atau universitas. Jadi, jika para karyawan sudah punya kemampuan dan ingin keluar dari Bumbu Desa, mereka harus lebih tinggi jabatannya ketika bekerja di Bumbu Desa. Menurut saya, itu bukan berarti karyawan tidak memiliki loyalitas tetapi membantu langkah mereka untuk mendapatkan suatu hal yang lebih baik.

Kami dalam membuka frandchise tidak sembarangan, tapi kami pilih orang-orang yang konsern, fokus dan pegang sendiri. Yang penting bagi kami adalah relationship bukan sekadar uang. Saudara bertambah tapi tidak ada konflik.

Saya enggak takut dicontoh oleh siapa pun. Semua resep saya berikan kepada yang lainnya. Tidak ada yang kami simpan kepada partner. Bumbu desa juga bisa dikatakan satu-satunya restoran yang tidak punya link dengan sebuah alat IT, terhadap cashier dengan kantor pusat untuk mengontrol penjualan outlet lain. Dulu hampir digunakan, tapi menurut saya tidak perlu. Yang saya inginkan menjalankan bisnis berlandaskan kejujuran. Daripada untuk IT, saya lebih suka pelatihan-pelatihan untuk para karyawan. Itu yang lebih saya suka. Saya tidak takut rugi, karena saya percaya 100 persen kepada para partner. Sampai saat ini belum ada konflik.

Untuk bahan baku bagaimana pemenuhan kebutuhan bahan baku?

Ibaratnya Bumbu Desa adalah inti plasma. Pemasok bahan baku adalah plasma-plasmanya. Jadi semua hasil produksi dipasok ke kami. Ada juga yang tidak bisa seperti itu, seperti beras.

Selama 10 tahun berjalan, bagaimana kendala yang dialami?

Untuk pemenuhan SDM relatif lancar, namun perkembangan bisnis kuliner semakin kencang. Pilihan-pilihan kuliner semakin beragam. Dari situ, kami harus berkompetisi terus. Oleh karena itu, kami harus berinovasi.

Bagaimana alasan Bumbu Desa sendiri dalam pemilihan lokasi baru?

Untuk luar negeri, tidak mesti banyak penduduk Indonesia di negara tersebut. Namun berdasarkan kota tersebut adalah megapolitan. Misalnya, Vancouver saat ini merupakan kota yang majemuk maka itu kami juga buka di sana. Untuk wilayah Indonesia, kami juga berencana membuka di wilayah timur Indonesia seperti, Mataram, Ambon, Flores dan Labuhan Bajo. Kami memilih karena lokasi tersebut bisa diterima masyarakat dan startegis. (***)

The post Bumbu Desa: Juru Masaknya dari Desa-desa Priangan Timur appeared first on Majalah SWA Online.

Resto Bandar Djakarta: Menawarkan Kuliner dengan Suasana Unik

$
0
0

Berawal dari pertemanan, Wendy Santosa bersama tiga temannya kemudian membangun bisnis restoseafood Bandar Djakarta. Perlahan membangun bisnis, kini Bandar Djakarta sudah berdiri di sejumlah tempat selain Ancol yang dimulai pada 2001. Di samping Bandar Djakarta di Alam Sutera dan Surabaya, Wendy dan kawan-kawan, bersama seorang rekan lainnya, Toba Tjitasura, membuka Seafood City by Bandar Djakarta di Pluit yang memiliki konsep berbeda.

Dalam wawancara dengan Rif’atul Mahmudah dari SWA Online, Sarjana Komputer yang hobi makan ini memaparkan empat strong point dalam mengembangkan bisnisnya hingga bisnisnya sukses. Asal tahu saja, dalam satu hari, pengunjungnya bisa mencapai 1.000 orang untuk lokasi di Ancol saja. Jumlah ini bisa naik tiga kali lipat ketika akhir pekan. Berikut petikan wawancaranya:

Bandar Djakarta

Wendy Santoso (kiri) bersama owner-owner Bandar Djakarta lainnya

Bisa diceritakan bagaimana latar belakang Bandar Djakarta didirikan, oleh siapa saja dan mengapa tertarik menggeluti bisnis resto?

Bandar Djakarta ini resmi dibuka 29 Desember 2001 setelah uji coba selama satu bulan tes makanan. Saya merintis ini bersama ketiga teman saya, Pak Sunarja Lasmana (Joan), Pak Hans Satyabudi, dan Pak Anton Cahyono. Kami kecuali Pak Anton sebelumnya memang sudah punya usaha kuliner tertarik untuk buka resto bersama. Prinsip kami membuka Bandar Djakarta ini karena pertemanan. Waktu itu kami melihat ada lokasi bagus. Kalau ingat laut, orang ingatseafood. Laut di Jakarta yang bersih dan dikenal adalah Ancol. Ide kami untuk membuka tempat makan di Ancol ini ternyata sejalan dengan rencana Ancol untuk mengembangkan kuliner. Karena dulu image Ancol kalau malam negatif. Itu yang ingin diubah. Jadi Ancol menjadi tempat wisata rekreasi dan kuliner.

Waktu memulai, bagaimana kondisinya waktu itu??

Dulu waktu kami memulai, masih sangat kecil dan dengan peralatan sederhana. Karyawan yang direkrut hanya 30-35 orang. Kapasitas tidak lebih dari 100.

Bagaimana perjalanan resto sejak didirikan hingga sekarang: Perkembangan dari tahun ke tahun, lika-liku menghadapi tantangan, kisah jatuh bangun?

Kami punya keyakinan dan satu visi-misi, meski dulu sempat ragu, apakah orang mau jika untuk makan saja harus bayar untuk masuk Ancol? Tetapi kami pun berpikir, harus jadi istimewa. Restoran di pinggir laut. Di awal kami terseok-seok, kami berjuang, berpikir strategi yang harus dijalankan seperti apa agar orang tertarik.

Tiga tahun pertama kami operasi, boleh dibilang kami masih setengah mati. Mengalami kerugian. Mengubah image agar orang mau makan di dalam Ancol itu tidak gampang. Kami tidak bisa hanya menonjolkan rasa enak. Kami menemukan strategi-strategi harus seperti apa.

Pertama, kami kembangkan restoran yang memiliki pasar ikan. Selama ini orang pesan itu bymenu. Dengan pasar ikan ini, kami memersilakan pelanggan untuk membeli ikan apa, seberapa ukurannya, tingkat kesegarannya juga bagaimana sehingga yang kami olah adalah yang mereka pilih. Kami berusaha memberikan ikan yang segar. Ikan kami tidak dibekukan. Karena kalau ikan dibekukan, kemudian dicairkan, tidak laku dibekukan lagi, dst pasti akan rusak. Penggemarseafood pasti akan tahu bedanya. Waktu awal memang kami kesulitan karena tidak tahu berapa banyak pengunjung, tetapi kami memiliki supplier yang baik, dua hari tidak laku, dia ambil.

Kedua, kami mengutamakan pelayanan. Kami mengutamakan pelayanan harus cepat. Bagian pemotongan ikan, memasak, sampai makanan keluar, kami usahakan cepat dan tepat. Ketiga,entertaint. Kami tidak hanya jual makanan, tetapi juga suasana, makan di pinggir laut, menikmati suasana pantai. Kalau malam, kami berikan live musicStrong point keempat, dari sisi pricing. Margin kami memang kami kecilkan, kami berani main volume. Kami tarik lebih banyak tamu yang makan. Untuk kenaikan harga, kami benar-benar hati-hati. Kami tidak serta merta ketika LPG naik, dsb. Harga harus lebih baik. Kualitas pun demikian.

Bandar Djakarta-Owner

Bisa diceritakan tonggak-tonggak perkembangan, kapan mulai melesat dan terus berekspansi? 

Dari outlet pertama, kami cukup hati-hati membuka cabang. Kami membangun brand dulu. Padahal banyak sekali orang menawarkan kepada kami, tetapi kami tidak mau gegabah, sampai 2009 baru kami buka cabang kedua di Alam Sutera. Jadi ketika sudah baik brand-nya, baru kami buka. Outlet ketiga kami buka di Green Bay di Pluit. Sebelum mal dibangun oleh Podomoro, Podomoro menawarkan kami. Tetapi karena lokasi tidak terlalu jauh, kami bedakan dengan Bandar Djakarta. Tahun 2011 , kami buka Seafood City by Bandar Djakarta. Itu satu tingkat di atas. Produknya ikan-ikan hidup. Kelasnya kami angkat. Kami juga jual produk impor seperti Kepiting Alaska. Kami pelajari di Green Bay ini kelasnya high-end. Untuk Seafood City ini kami tidak berempat tetapi berlima, bertiga dengan owner Bandar Djakarta yang lain ditambah Pak Toba Tjitasura. Kemudian 2012 kami buka di Surabaya.

Apa saja jenis resto yang dikelola?  Apa daya tarik dan kekhasan masing-masing (dari sisi menu, bahan-bahan, cara memasak, cara menghidangkan, dll?) 

Kalau Bandar Djakarta, baik di Ancol, Alam Sutera dan Surabaya, semua sama. Seafood City berbeda. Kalau di Alam Sutera, konsep kami adalah garden. Di Seafood City, satu-satunya restoran yang makan di atas laut. Jadi seperti dermaga, tetapi tidak kena hujan. View-nya laut lepas. Di Surabaya konsep kami kebun, orang bisa garden party, barbeque-an. Tidak mungkin Bandar Djakarta buka di ruko. Tetapi untuk Surabaya, karena Surabaya daerah berbeda, kami pelajari saus-saus yang khas Jawa Timur, seperti bumbu rujak.

Bagaimana strategi berekspansinya?

Sebenarnya kami tidak mau gegabah untuk buru-buru ekspansi, walaupun banyak yang berminat. Tetapi kami belum berpikir untuk mem-franchise-kan Bandar Djakarta. Franchise menurut saya tidak mudah. Menurut saya kebanyakan tidak benar-benar franchise, tetapi hanya opportunity. Paling tidak harus sudah beroperasi 3-5 tahun. Banyak usaha yang hancur karena diwaralabakan. Ini yang kami jaga. Biarkan Bandar Djakarta walaupun pelan-pelan, tetapi pasti. Jika kami buka, harus ada konsepnya dan areal perlu besar. Karena pasar ikan saja butuh tempat yang besar dan kami tidak bisa batasi orang, karena ini tempat untuk santai.

Bagaimana memenuhi kebutuhan chef?

Lebih tepatnya koki. Kalau chef yang pegang saus/bumbu. Kami punya dapur pusat. Chef yang bertanggung jawab memproduksi saus dan didistribusikan. Dapur pusat kami ada di Tangerang. Jadi rasa di semua outlet pasti rasanya sama. Tinggal koki di sini yang mengolah sesuai dengan SOP.

Bagaimana memenuhi kebutuhan bahan baku (suplay chain)?

Untuk Jakarta dan Surabaya tidak terlalu sulit, karena pelabuhan ikan juga besar.

Berapa kebutuhan bahan baku tiap harinya?

Tergantung. Ancol paling besar porsinya. Ikan-ikan yang paling laku, sehari lebih dari 50 kg untuk di Ancol saja. Kalau weekend, di atas itu. Cumi juga banyak disukai orang, hari-hari biasa 50 kg kurang. Kepiting juga cukup banyak, tetapi masalahnya kadang kami tidak bisa dapat produk yang bagus karena yang bagus-bagus (telurnya penuh), nelayan lebih suka ekspor karena mereka bisa dapat lebih banyak. Puji Tuhan kami punya channel-channel yang setia, mereka tetap berikan suplai untuk kami.

Bagaimana melakukan tranformasi pengelolaan (mungkin dari manajemen “warungan” menjadi manajemen modern)? Bagaimana memenuhi tenaga manajemen dan pramusaji setelah semakin besar?

Tentunya ada proses. Kami menikmati itu. Kami percaya ada kemurahan Tuhan di dalamnya. Dulu 35 orang itu, kecuali dapur, orang di service, waiter sambil melayani, menyapu juga, karena terbatas. Dengan proses, tamu semakin banyak, kami harus memerhatikan sistem operasional. Mulai terbentuk divisi-divisi sendiri dan mulai tambah secara bertahap.

Berapa jumlah tenaga kerja saat ini?

Saat ini jumlah karyawan kami seluruhnya untuk Bandar Djakarta di Ancol ini dari keuangan,service, waitress dll ada sekitar 500 orang karena kami kan shift panjang. Dari jam 10 pagi sampai 11 malam, ada dua shift. Untuk kapasitas pengunjung di sini, kami ada sekitar 1.500 kursi.

Bagaimana kegiatan inovasi (R & D) untuk menghasilkan menu, layanan, pemasaran yang baru?

Kami sebenarnya tidak hanya jual produk, tetapi juga jasa. Setiap tahun kami paling tidak ada dua menu baru. Untuk mengeluarkan menu baru itu kan tidak mudah. Biasanya, ide muncul dari saya atau dari teman-teman saya (owner lainnya). Dari berempat saling tukar pikiran. Kalau tiga bilang enak, satu tidak, ya tidak dikeluarkan. Jadi, biasanya kalau nemu rasa baru dari tempat lain, kami bawa, kemudian chef buat dengan dimodifikasi. Kemudian di bawa di rapat direksi. Kalau keempat sudah oke, kami bawa keluarga atau teman dekat untuk tes, itu pun beberapa kali. Prosesnya bisa 2-3 bulan, makanya kami hanya punya dua menu baru per tahun. Dari sisi jasa, kami ada training-training. Di dapur juga ada pertemuan yang menekankan SOP. Walaupun dari pusat bumbunya, tetapi kalau pengolahan tidak sesuai, jadi berbeda.

Apa saja kunci sukses mengelola restonya?

Bandar Djakarta seperti ini bukan karena owner-nya saja, atau karena chefnya yang membuat saus-saus yang enak. Bandar Djakarta seperti ini karena semuanya. Untuk itu jaga betul kekompakkan semua yang ada di sini. Pada waktu-waktu tertentu saya beri penghargaan kepada mereka. Sesekali kami ajak outing. Bulan April mendatang kami berencana ajak mereka dengan seluruh keluarganya (istri dan anak-anak) ke Surabaya dan Malang. Untuk yang level-nya di atas, dan sudah 10 tahun bekerja, kami ajak lebih jauh sedikit, ke luar negeri. Kemarin ke Australia. Mereka boleh ajak pasangannya. Di sana kami ke pasar-pasar ikan, ke restoran, melihat bagaimana pelayanan di sana, seberapa cepat pelayanannya, kebersihan, dsb.

Saya menekankan pada semua bahwa kita harus menyadari bahwa semua ini karena kemurahan Tuhan. Selain itu, saya juga menekankan pada mereka untuk jadi orang-orang yang positif, di tengah lingkungan negatif sekalipun. Selalu tekankan positive thinking, lakukan terbaik apa yang jadi tanggung jawabmu, selebihnya serahkan Yang Di Atas.

Bagaimana kinerja resto saat ini: Jumlah cabang, jumlah pengunjung per hari dan rata-rata  pengunjung menghabiskan berapa rupiah sekali makan?

Saat ini untuk outlet di Ancol, hari biasa, satu hari dari pagi sampai malam jumlah pengunjung bisa mencapai 1.000 orang. Kalau weekend, bisa tiga kali lipat. Di Alam Sutera dengan kapasitas sekitar 1.200 sudah lebih baik, tetapi Ancol masih lebih baik. Untuk di Surabaya, kami masih berjuang dengan 1.200 kapasitas, selama ini belum mencapai target. Untuk Seafood City, yang areal di atas laut berkapasitas 500 kursi, sekarang ini mal-nya sudah buka, saya harus ambil tempat di mal juga (posisinya berada di paling ujung, sehingga satu sisi di dalam mal, sisi lainnya di atas laut), ada tambahan sekitar 200. Jadi total untuk Seafood City kapasitas sekitar 700. Rata-rata mereka per orang kurang lebih Rp 100 ribu sekali makan.

Apa target dan rencana ke depan agar restonya semakin besar dan maju?

Buat saya, hidup ini tidak ada stagnasi. Mati atau tumbuh. Kami sepakati bersama, untuk tumbuh. Masing-masing divisi head harus regenarasi di bawahnya supaya dari sisi kemampuan akan bertambah sehingga jika ekspansi, sudah siap untuk ditempatkan ke tempat-tempat baru.

Untuk ekspansi, yang menawari kami banyak, khususnya Bali, di beberapa tempat. Bali menjadi prioritas kami dengan brand Bandar Djakarta. Di Jakarta mungkin kami akan buka lagi di daerah Selatan, mungkin 2015 atau 2016. Di Alam Sutera persaingan ketat, banyak sekali kuliner, maka kami akan renovasi, buat area yang ber-AC, private sehingga kami bisa tarik lebih banyak pengunjung di siang hari.

Persaingan itu ibarat pengantin, kami harus bersanding dengan kompetitor. Kita harus berpikir, dengan adanya kompetitor, peluang tamu untuk datang harus lebih banyak. Dengan ada kompetitor pun kita jadi terpacu untuk berkembang. Menurut saya, mencontek itu tidak dosa kok, tetapi tentu harus dimodifikasi. Bandar Djakarta dicontek pun tidak masalah bagi saya, tetapi kalkulasinya harus panjang. (***)

The post Resto Bandar Djakarta: Menawarkan Kuliner dengan Suasana Unik appeared first on Majalah SWA Online.

Survei Hilton Worldwide Menyingkap Budaya Wisata Kuliner di Asia Pasifik

$
0
0

Sebuah survei mengenai perilaku para wisatawan mengungkapkan bahwa bagi lebih dari sepertiga wisatawan (36%) di Asia pasifik, makanan dan minuman adalah faktor penentu dalam memilih tujuan wisata mereka. Beberapa temuan penting dari survey ini untuk Indonesia adalah: (1) 33% dari wisatawan Indonesia mengatakan bahwa makanan adalah faktor yang sangat penting dalam menentukan tujuan wisata mereka; (2) sebanyak 86% menganggap bahwa sangatlah penting untuk mencoba makanan khas lokal yang terkenal saat mereka berkunjung ke suatu tempat wisata; (3) sebanyak 90% dari para wisatawan ini mencari pengalaman kuliner yang unik saat mereka berkunjung ke suatu tempat wisata; (4) sebesar 89% dari mereka mengatakan akan kembali ke tempat tersebut hanya karena makanan atau pengalaman bersantap yang memuaskan.

hilton

Survei ini dilakukan terhadap 2.700 wisatawan yang berasal dari 9 negara di Asia Pasifik, dan merupakan inisiatif dari Hilton Worldwide, sebuah perusahaan terkemuka yang bergerak di bidang perhotelan. Dalam survey ini ditemukan juga bahwa hanya 5% dari respondennya yang tidak memasukkan makanan dan minuman dalam pertimbangan mereka saat menentukan ke mana mereka akan berwisata. “Kuliner khas sebuah negara atau kota jelas dapat menentukan kemana para wisatawan Asia Pasifik memilih untuk berlibur,” jelas Markus Schueller, Wakil Presiden untuk F&B Operations Asia Pasifik Hilton Worldwide.

Seiring dengan tumbuhnya peran makanan dan minuman dalam sektor pariwisata, hal ini tentu berdampak besar pula terhadap industri perhotelan. Lewat sudah masa-masa dimana hotel hanyalah sebatas tempat untuk beristirahat. Saat ini, hotel juga harus bisa mengembangkan diri untuk menjadi tujuan wisata kuliner itu sendiri, dengan memberikan pelayanan dan informasi yang sesuai kepada para pelanggannya dengan penekanan terhadap kualitas wisata kuliner selama liburan mereka.

Hasil survei dari para wisatawan di Australia, Cina, Hong Kong, Indonesia, Jepang, Korea, Malaysia, Singapura, dan Thailand, juga menunjukkan bahwa makanan merupakan sebuah prioritas tersendiri dalam budget para wisatawan ini. Terbukti dengan 43% dari para responden mengalokasikan hingga setengah dari total budget mereka untuk belanja makanan dan minuman.

Menurut riset ini, makanan juga mempengaruhi aktivitas yang menjadi prioritas para wisatawan saat berlibur, dengan 90% dari mereka senang bepergian untuk mencoba kuliner khas lokal yang terkenal. Selain itu, 87% dari mereka mengatakan bahwa mereka senang berburu jajanan kaki lima dan 79% dari mereka juga mencari pengalaman wisata kuliner yang unik, seperti festival kuliner atau pasar makanan saat mereka berkunjung ke suatu destinasi wisata.

Saat ditanya mengenai destinasi kuliner favorit para wisatawan di kawasan Asia Pasifik, Jepang muncul sebagai tempat yang paling banyak dipilih oleh para wisatawan ini, diikuti oleh Thailand dan Taiwan. Meski demikian, terdapat 19% responden yang memilih negara asal mereka sendiri sebagai tempat dengan destinasi kuliner terbaik. Mereka yang masuk dalam kategori ini adalah para wisatawan yang berasal dari Malaysia, Australia, Korea, dan Jepang. Hal ini juga berlaku bagi para wisatawan Indonesia yang memilih Indonesia sebagai destinasi kuliner favorit mereka, termasuk juga para wisatawan Jepang dan Korea yang cukup banyak memilih Indonesia sebagai destinasi kuliner favorit mereka.

Lantas, apa yang mereka cari dari sebuah tempat wisata kuliner? Sebanyak 49% dari para responden setuju bahwa keberagaman kuliner merupakan faktor yang paling penting, diikuti dengan keunikan kuliner yang ditawarkan, pilihan makanan yang lokal yang khas, serta pengalaman wisata budaya kuliner, seperti menghadiri pasar jajanan atau festival makanan. Bagi para wisatawan Indonesia, mayoritas mengutamakan keberagaman kuliner serta keunikan kuliner lokal dalam memilih tujuan destinasi kuliner mereka.

Markus menambahkan, para wisatawan kuliner modern cenderung mencari pengalaman dan aktivitas kuliner yang otentik, yang dapat menawarkan baik kualitas serta keberagaman. Pihaknya serius dalam menanggapi hal ini, sehingga berusaha menyediakan berbagai konsep kuliner yang unik.

Kegiatan sigi ini merupakan bagian dari kampanye Hilton Worldwide’s Destination Marketing Campaign, sebuah inisiatif dari Hilton untuk memberikan para wisatawan rate terbaik untuk menginap di hotel-hotel dan resort Hilton Hotel di kawasan Asia Pasifik. (EVA)

The post Survei Hilton Worldwide Menyingkap Budaya Wisata Kuliner di Asia Pasifik appeared first on Majalah SWA Online.

Kedai Tiga Nyonya: Mengandalkan Masakan Rumahan Tanpa MSG

$
0
0

Bahan baku Kedai Tiga Nyonya menurut Paul B. Nio, pendiri resto dengan ciri khas masakan peranakan ini, hanya pada kondisi cuaca tertentu beberapa bahan baku agak sulit dan naik harganya. Seperti saat hujan seperti ini, sayuran agak naik harganya. Ikan jenis tertentu juga langka, karena nelayan tidak melaut dalam kondisi cuaca saat ini. Karena kondisinya seasonal, ia tidak menaikan harga makanan yang dijualnya di menu resto.

KedaiTigaNyonya (utama)

Paul B.Nino dan isteri

Ia beruntung dengan konsep masakan Nusantara, bahan baku dan bumbu yang mayoritas didapat dari dalam negeri, “Walau masakan lokal, harus dipikirkan  pengemasan dan penyajiannya agar lebih cantik, walau rasa masakannya sudah enak,” ujar pria 55 tahun ini. Kita memang senang makan enak, tapi juga menikmati garnising masakan yang menarik juga. Kita sering lihat masakan di resto bergengsi, datang saat dibuka makanan yang disuguhkan di meja dengan ditutup untuk resto kelas michelin seperti restoran Prancis, bahkan kalau lihat terlalu cantik males makannya.

Kedai Tiga Nyonya tahun ini sudah 10 tahun, dikatakan Paul, memang diharapkan bisa terus langgeng hingga kapan pun. Ide masakan peranakan ini, tujuannya ingin melestarikan masakan dan resep yang dimiliki keluarga Paul. “Kami ingin mengenalkan masakan sehari-hari di keluarga kami, dikemas dengan menarik dan sehat, tanpa bumbu penyedap, bahannya pilihan juga, dipadukan dengan desain yang menarik dan ada khasnya,” ujar ayah satu putra yang kini bekerja sebagai konsultan di Accenture ini.

Ia sejak awal ide hingga resto ini berdiri, tidak ingin asal-asalan dalam menyajikan masakannya. “Kami bidik orang-orang kantoran, eksekutif, apalagi lokasi restonya dekat perkantoran,” katanya. Maka itulah sejak awal mendirikan resto Kedai Tiga Nyonya — gerai pertama di TIS Square, Tebet, Jakarta — adalah lokasi yang dekat dengan perkantoran, namun juga dengan lokasi sekitarnya yang juga ada perumahan atau tempat tinggal.

Jadi kala makan siang padat oleh orang kantoran, malam hari dan weekend masih ada order dari tempat tinggal. Mayoritas pemilihan pembukaan cabang lain pun diupayakan seperti itu. “Saya baru buka di Jungle Land, Sentul City/Sentul Nirwana, memang bukan lokasi dekat perkantoran, tapi di sana sangat berkembang,” ujarnya.

Paul kala membuka resto ini berusia 45 tahun, ia meninggalkan posisinya sebagai Direktur di Summarecon Group untuk mewujudkan impiannya memiliki usaha sendiri. Karena merasa bukan dari keluarga pebisnis, uang pun tidak banyak dari segi modal, maka itu Paul memilih mengembangkan restonya dengan sistem waralaba setelah beberapa tahun berdiri. Sistem ini memungkinkan resto ini bisa ada di beberapa tempat.

“Tahun 2003 kami buka gerai pertama, gerai kedua di Jalan Wahid Hasyim, sayang kemudian ditutup, bukan karena merugi, tapi karena lokasi diambil lagi oleh pemilik setelah habis kontrak,” ujarnya. Waktu itu gerai kedua dengan sistem kerjasama. Saat ini pihaknya belum lagi membuka cabang di daerah tersebut, walau ramai permintaan, karena faktor harga sewa lokasi yang mahal. “Kami kan inginnya stand alone, bukan di mal, jadi memang tinggi biaya sewa di sana menjadi kendala bagi kami,” imbuhnya. Tahun 2007 itulah mula pertama Kedai Tiga Nyonya membuka gerai pertama dengan sistem waralaba di Yogja (gerai ketiga).

Tahun 2008 buka di Kuta, Bali, tahun 2010 buka di Surabaya, 2012 buka di Lippo Cikarang, tahun 2013 buka di Jungle Land, Sentul City, tahun 2014 rencananya akan segera buka di dekat Perumahan Grand Cemara Asri, Medan, Sumatera Utara, tidak jauh dari Bandara Kuala Namu. “Mereka (franchisee) ingin buka selepas Imlek,” ujarnya.

Paul mengaku terbatasnya modal, yang membuat ia memutuskan tidak mengembangkan sendiri gerai Kedai Tiga Nyonya. Maka itu hanya gerai di TIS Square, Tebet saja yang dimilikinya 100 persen. Sisa gerai lain Kedai Tiga Nyonya merupakan pengembangan dengan waralaba. “Konsepnya banyak orang suka, itulah mengapa banyak yang minta buka di tempat lain,” ujarnya. Paul mengaku bukan tipe pengusaha resto yang agresif menjual waralaba restonya. “Saya tidak pernah promosi, beriklan bahkan mengikuti pameran waralaba untuk memperkenalkan ini,” akunya. Karena ia ingin yang berniat membuka resto ini karena dia benar-benar minat dan memiliki passion untuk mengelolanya.

“Masing-masing cabang memiliki owner (franchisee), saya meminjamkan nama saja. Bahan baku saya hanya menyampaikan list-nya, termasuk suplier-nya, mereka yang nego sendiri. Saya hanya menyediakan bumbu dasar  (inti) dan resep yang memang wajib dari kami,” jelasnya. Konsep dari dekor, menu yang ada di Jakarta mereka bisa ambil, apakah mau sekaligus semua atau bertahap, mengikuti dari pusat. Training SDM juga tanggung jawab pihaknya. “Koki tidak harus yang jagoan, dari lulusan sekolah pariwisata, atau hotel berbintang. Saya bilang ke mereka, yang penting cari orang yang berbakat masak. Maka itu saat interview koki, saya dan tim akan datang bantu mereka,” jelasnya.

Melakukan tes pada koki memang dilakukan dengan cara sederhanya, mereka hanya diminta membuat masakan sederhada (tumis, gado-gado atau nasi goreng) dan sambal. Menurut Paul mereka yang berbakat dengan bahan sederhana akan menyajikan masakan enak, walau tanpa penyedap. Sebagai orang yang berpengalaman di bidang ini, ia bisa tahu mana yang terbiasa pakai bumbu penyedap, hanya berbekal ijazah dan mana yang memang punya bakat. “Maka itu kami tidak kesulitan dan harus bajak orang mahal-mahal untuk kebutuhkan koki,” imbuhnya. Koki itu merupakan didikan tim training-nya.

“Konsep kami memang tidak pakai vetsin, ini memang jadi masalah bagi koki yang biasa pakai itu,” imbunya.

Sejauh ini pihaknya tidak memiliki kesulitan dalam mencari koki. Diakuinya, untuk yang berniat buka di wilayah Indonesia Timur kendala SDM memang ada. “Saya baru dapat permintaan buka di Papua, baru saja saya pulang dari Manokwari, kendala yang ditemui rupanya SDM susah. Warga asli tidak terlalu minat jadi pelayan, juga bahan baku lebih mahal 30 persen,” ujarnya. Padahal di sana “uang cari barang”, jadi uang berlimpah, banyak orang cari makanan enak, tapi belum terpenuhi. “Maka itu franchisee memutuskan menggunakan satu tim dari Jakarta untuk SDM awalnya,” ujarnya. Untuk gerai Jakarta, Indonesia Tengah dan Barat, tidak mengalami kendala dalam penyediaan SDM.

Sudah 10 tahun berdiri, kreativitas dan inovasi di dalam bisnisnya terus dibangun. Walau tidak ada kaitan dengan restonya, Paul dan tim selalu menyempatkan mencoba setiap restoran baru yang buka. Ini sebagai upaya untuk memperkaya khasanah tentang masakan lain. “Seringnya kemudian timbul ide baru, eh kalau ini dipadukan dengan bahan ini kan lebih enak, jadilah menu baru,” imbuhnya. Namun ia tegaskan apa yang dibuatnya tidak sama dengan yang mereka buat. Justru yang ada keluar menu baru.

Paul yang mendirikan dan mengembangkan ini bersama istrinya, selain untuk refreshing, jalan-jalan ke resto lain merupakan upaya pengembangan itu. Ini juga ia lakukan hingga melihat ke resto luar. Mereka juga belajar bagaimana pengelolaan resto yang baik, hingga higienitas pengolahan masakan dan penyajiannya kala keliling ke resto-resto hingga ke luar negeri.

Suasana di restoran Kedai Tiga Nyonya

Suasana di restoran Kedai Tiga Nyonya

Selama mengembangkan ini, ia merasakan kenaikan harga akibat inflasi dan tuntutan UMR yang terus merangkak membuat kondisnya restonya harus berpikir lebih agar solusinya harus dengan kenaikan harga. “Kami tidak selalu memutuskan kenaikan harga dengan kondisi kenaikan itu, bisa dengan efisiensi dan meningkatkan produktivitas. Juga bisa dengan penyesuaian porsi makanan, yang terlalu besar agak dikecilkan, jika sudah pas ya tidak perlu,” ujarnya.

Kendala SDM dalam training adalah bagaimana mengajak karyawan disiplin dan mengubah kebiasaan buruk kurang bersih karena bawaan dari rumah (kebanyakan SDM dari daerah) menjadi lebih bersih. Maka itu Paul rutin mengajak anak buahnya (bergantian) ke luar negeri, untuk semacam studi banding ke resto di sana, bagaimana mereka mengelola kebersihan restoran, penyajian hingga belajar menu lain.

“Kami merasakan kala 10 tahun lalu awal buka resto ini, pemain bisnis kuliner tidak sebanyak sekarang. Kala itu memang banyak warung tenda, tapi tidak bertahan, dua tahun belakangan makin marak,” ujarnya. Menurut Paul ini tidak mengherankan, berdasarkan pengalamannya sebagai Direktur di Summarecon, di bisnis properti, penyewa tenant yang menurutnya membayar dengan lancar dan tak berkendala adalah resto dan rumah makan. “Kala krisis ekonomi biasanya penyewa tenant penjual pakaian agak berat. Ada tiga yang menurutnya tidak berkendala selain penjual F&B, adalah optik dan jewelery,” ujarnya.

Biaya-biaya yang terus naik ini yang membuatnya harus berpikir keras untuk bisa bertahan. Seperti kenaikan TDL (tarif daya listrik), UMR dan bahan baku. “Bahan baku misalnya, itu melonjak sejak sebelum lebaran, bahkan hingga kini tidak ada adjustment untuk turun,” ujarnya. Menurut Paul kenaikan biaya tetap lebih parah sekarang dibanding tahun-tahun sebelumnya. Kalau sudah naik, susah turun harganya. “Tapi saya pahami tekanan hidup memang bertambah, biaya hidup juga naik. Maka pada titik tertentu kami harus lakukan revisi harga menu makanan kami,” imbuhnya. Ada dua cara, bertahan di harga awal, atau mengurangi porsi menu (tergantu kondisi menunya). “Kami ada tim konsensus, dari dapur dan bagian servis yang mendengar pendapat dari pelanggan,” ujarnya.Atau solusinya dengan melakukan substitusi bahan baku, dengan tanpa mengurasi cita rasa.

Paul mengaku saat ini dibantu tim profesional, meski putranya lulusan akunting dari luar negeri, belum tertarik untuk join di bisnisnya. “Passion dia juga lebih ke masakan western, ya biarlah dia nikmati menjadi konsultan di Accenture,” ujarnya. Maka itu hingga kini ia dan istrilah yang mengembangkan usaha ini plus 4-5 orang profesional yang memikirkan manajemen dan pengelolaan waralabanya.

Ia akui, bisnis resto atau kuliner bukan bisnis yang bisa dikelola dengan manajemen asal atau warungan saja. Menurutnya yang paling penting harus ada komitmen dan passion di bisnis ini. “Passion itu  buat kita tidak bosan. Jangan sampai memutuskan buka resto, hanya karena ikut-ikutan teman. Karena kalau begitu, ketemu kendala sendikit yang buat mereka pusing dan capai, langsung give up,” ujarnya.

Keputusan mewaralabakan bisnis pun bukan asal ikut-ikutan, menurut Paul ia pikirkan dengan baik. Bukan sekadar ikut-ikutan. Bukan karena ingin buka banyak cabang dan serakah juga. Bukanya Kedai Tiga Nyonya itu atas permintaan pelanggan yang memang jatuh cinta pada menu makanan mereka. “Saya sampaikan dan tegaskan ke franchisee, saya bukan pedagang bahan baku, jadi semua list suplier saya berikan ke mereka. Atau mereka mau cari suplier lain boleh. Maka itu sejak awal saya putuskan pembelian semua bumbu inti yang memang harus diambil di kami dibayar di depan, karena kami bukan pedagang dengan keuangan kuat,” jelasnya.

Paul tidak berkenan menyebut angka omsetnya. Yang jelas gerai yang dimilikinya sendiri di TIS Square, selalu penuh saat makan siang dan malam. Gerai dengan kapasitas duduk sekitar 80-an kursi itu kerap disewa untuk acara-acara khusus. Bahkan petinggi negeri ini sudah pernah makan di sana. Seperti putra Presiden RI, para menteri, juga pejabat tinggi lain. Untuk menjadi franchisee harus membayar franchise fee dan royalty fee dengan angka tertentu. Paul enggan dipublikasi angkanya sedang royalty fee mengikuti omset bruto setelah dipotong pajak per gerai, ada prosentase tertentu.

Rencana membua cabang lain, tentu ia menginginkan. Karena targetnya adalah ingin melestarikan masakan sehari-hari dan menu keluarganya yang memang enak. Hanya saja, Paul mengaku pihak yang pasif, bukan yang pro aktif menjual franchise-nya. “Semua yang menjadi franchisee yang mendekati saya, mereka yang cari saya karena suka pada masakan resto kami,” imbuhnya.Ia bersyukur Kedai Tiga Nyonya diminati dan responsnya sangat bagus. Dari semua cabangnya beragam, cukup ramai juga. Tentang harapan ke depannya, Paul berharap kekayaan budaya kuliner Nusantara makin kaya dengan resto yang menyajikan makanan peranakan ini. “Masakan peranakan adalah perpaduan banyak budaya. Dengan menyasar kelas menegah atas, menurutnya ini positioning yang tepat, terlebih ini terus tumbuh angkanya,” ujarnya.

Untuk terus sustain bisnisnya, tentu Paul sangat memikirkan ini. Ia ingin bisnis ini terus bertahan walau ia dan istri sudah tidak ada. “Mungkin ini jadi good news akhir tahun lalu, pihaknya sedang meliriknya untuk mengakuisisi merek restonya,” ujarnya. Beberapa grup besar yang bergerak di bisnis makanan kata Paul sudah lakukan penjajakan padanya. Karena ada emotional bonding saat mendirikan bisnis ini, Paul ingin tidak seluruh saham diambil alih, ia ingin masih ada kepemilikan saham untuknya dan istri walau sedikit kelak walau nanti sudah diambil alih.

Sayang ia belum mau menyebut siapa saja yang sudah melakukan pendekatan. “Brand value dan konsep unik lah yang membuat mereka tertarik. Kami yang pioner untuk konsep masakan peranakan,” katanya. Para calon investor itu melihat Kedai Tiga Nyonya sangat menarik, masakan enak, tapi tidak seterkenal resto lain yang sejenis. “Mereka bilang, mungkin karena kami belum masuk mal. Nah, untuk seperti itu kan butuh modal banyak. Nah saya harus cari partner yang satu visi,” imbuhnya. (***)

 

 

 

 

 

 

The post Kedai Tiga Nyonya: Mengandalkan Masakan Rumahan Tanpa MSG appeared first on Majalah SWA Online.

Parsley Bakery & Resto: Menyajikan Roti yang Fresh dan Aneka Menu Makanan

$
0
0

Bisnis yang berkaitan dengan kebutuhan perut adalah bisnis yang cukup prospektif. Berbekal keyakinan itulah, Utari Raharjo, yang dikenal sebagai salah satu pebisnis peralatan kedokteran yang cukup sukses di Jogyakarta, tertarik untuk mengembangkan bisnis kuliner. Pemilik Cobra Denta ini berkongsi dengan beberapa teman akrabnya untuk mendirikan PT Prospekta Buma Gemilang (Buma).

Buma ternyata merupakan kepanjangan dari ibu-ibu berlima, karena pemilik saham perusahaan ini adalah ibu-ibu yang jumlahnya lima orang. Mereka adalah Utari Raharjo, Liyanti Sugiyarti, Lidya Indrawati, Anggia Murni dan Susan. Belakangan Susan mengundurkan diri dan digantikan Seli Sagita yang dikenal sebagai pengusaha perak, Borobudur Silver. “Karena namanya pake Buma maka pemilik sahamnya harus lima,” kata Dwi Budi Darmaji, Direktur PT Prospekta Buma Gemilang, kepada Gigin W. Utomo.

Parsley-Budi

Tahun 2002, dengan modal awal Rp 500 juta, lima sekawan tersebut mendirikan toko khusus bakery dengan nama Parsley di Jln. Magelang, Jogya. Bakery dipilih karena mereka memiliki koki yang andal. Koki yang dimaksud adalah Haryono Darmaji, suami dari Liyanti Sugiyarto, salah satu pendiri perusahaan tersebut.

Untuk menjalankan operasional harian diserahkan penuh kepada Budi, panggilan akrab Dwi Budi Darmaji. Maklum, pria betubuh tambun inilah yang sejak awal memang memiliki gagasan untuk pendirian bakery tersebut. “Kami mengusung konsep bakery yang selama ini ada di Jakarta dipindahkan ke Jogya, dan ternyata tanggapan masyarakat sangat bagus,” kata Budi, alumni Teknik Elektro Universitas Atmajaya,Jakarta ini.

Singkat cerita, dengan konsep roti yang selalu fresh from the oven dan menawarkan aneka rasa yang selama ini belum banyak ditemukan di Jogya, Parsley tumbuh dengan cepat. Dalam tempo setahun sudah membuka cabang di Jln. Solo. Dan sampai tahun 2013 sudah memiliki enam cabang yang tersebar di beberapa sudut kota Jogya.

Parsley_Budi2

Setelah sukses dengan bakery, tahun 2008, Parsley mulai merambah ke bisnis restoran. Pengembangan ke bisnis resto tersebut, setelah melihat kebutuhan pasar yang dinilai masih sangat terbuka lebar. Gerai Parsley yang ada di Jln. Kaliurang menjadi pilot proyek. “Awalnya kami hanya memanfaatkan ruang garasi mobil untuk diberi kursi dan meja, kami ingin memberi kesempatan kepada mereka yang ingin makan roti di tempat,” kata Budi.

Menurut ayah dua anak tersebut, ternyata respons masyarakat cukup bagus. banyak konsumen yang tertarik untuk makan di tempat sambil ngobrol dan minum secara santai, Mereka pada umumnya ibu-ibu yang menunggu jam jemputan sekolah anak anaknya. “Karena itulah kami mulai serius masuk ke bisnis restoran,” tutur Budi.

Penggabungan bakery dan resto menjadikan pertumbuhan bisnis Parsley meningkat tajam. Bahkan tawaran untuk membuka cabang di luar kota terus berdatangan. “Kami belum bisa memenuhi tawaran buka di luar Jogya karena persoalan SDM yang belum siap,” kata suami dari psikiater Desi Andriani tersebut.

Dari sisi bisnis, Parsley bisa dibilang cukup sukses. Kunjungan untuk setiap gerainya sehari rata-rata di angka 300 pengunjung. Ini angka yang cukup besar di Jogya. Meski terkesan sebagai resto kelas menengah atas, pada dasarnya resto ini menggaet semua segmen pasar. “Pada dasarnya siapapun bisa masuk ke sini karena memang banyak pilihan menu dengan harga yang relatif terjangkau,” ungkap Budi.

Dibandingkan resto berjaringan lainnya, Parsley ternyata memiliki keunikan tersendiri. Meski memiliki nama sama, hampir semua gerai dibuat dengan penampilan arsitektur dan tawaran menu yang berbeda. Selain menyediakan bakeri, Parsley menawarkan aneka menu food mulai dari oriental, western (masakan Indonesia, Eropa, Chinese food, dan Japanese food, fushion,dll). “Meskipun namanya sama-sama Parsley tapi menu yang disajikan di tiap gerai berbeda, khususnya untuk yang makanan kalau yang bakery standar,” ujar kelahiran Malang, 13 September 1978 tersebut.

Satu hal yang ditawarkan Parsley, suasana resto yang nyaman dan homey dengan tujuan membuat konsumen betah. apalagi juga dilengkapi hotspot berkecepatan tinggi. Selain itu juga disediakan ruang meeting yang representatif.

Karena kelengkapan menu yang disediakan, selama ini bukan hanya konsumen lokal yang menjadi pelanggan tetap di Parsley. Resto ini juga menjadi langganan banyak ekspatriat yang berkunjung ke Jogya. Sayangnya belum ada angka yang membandingkan berpa jumlah konsumen asing dibandingkan dengan konsumen lokal. (Gigin W.Utomo)

The post Parsley Bakery & Resto: Menyajikan Roti yang Fresh dan Aneka Menu Makanan appeared first on Majalah SWA Online.

Nanan Wiryono “Dokter Spesialis” Restoran

$
0
0

Nanan Wiryono adalah pemilik 1 Consultant, sebuah perusahaan konsultan yang bergerak di bidang restoran. Banyak restoran yang menjadi kliennya. Ia mampu membenahi restoran yang “pahit” menjadi sedap. Bagaimana lika-liku kariernya? Nanan Wiryono menuturkannya kepada Sigit A. Nugroho:

Mengapa ia tertarik menekuni profesi konsultan?

Awalnya ikut konsultan di Jakarta. Namanya GCA. Mereka yang sudah sangat terkenal. Mereka bikin pub di Marina, Singapura. Di GCA saya sebatas membuat training service untuk membuat SOP. Saya melihat bisnis kuliner bisa terus bertahan, selain bisnis kecantikan, pendidikan, kesehatan. Itu bisnis yang paling stabil.

Nanan Wiryono

Nanan Wiryono

Apa background Anda?

MM Undip dan S1 di Sydney, Australia. Background saya montir mobil. Kalau cuma instalasi mobil saja saya bisa.

Bagaimana perjalanan kariernya di profesi itu?

Belajar dari teman-teman yang memiliki skill di bidang-bidang lain. Seperti instalasi exhaust untuk setting kitchen, interior-exterior design, floor plan, perekrutan karyawan. Itu saya pelajari dari nol banget.

Waktu di Australia, saya dikasih uang bapak saya sangat pas-pasan. Itu cara bapak mendidik saya. Supaya saya survive, bagaimanapun caranya. Entah menjadi tukang cuci piring, waitress, reception, pokoknya bisa berpenghasilan sendiri. Jadi mulai belajarnya dari situ.

Dulu awalnya saya menjadi tukang pegang tasnya Mbak Soraya Haque yang sering jadi pembicara. Kebetulan kakak-kakak saya pernah menjadi siswa di Sekolah Pengembangan Pribadi Soraya Haque.

Sampai suatu ketika saat umur 20 tahun, saya menjadi pembicara untuk teleconference liners di Bandung. Karena Mbak Soraya waktu itu benar-benar sedang sibuk. Dia mempercayakan kepada saya. Dari situlah nama saya mulai dikenal, menjadi pembicara di mana-mana sampai sekarang. Fokus kuliner mulai tahun 2000.

Bagaimana Anda memoles diri hingga menjadi the best di bidang itu?

Saya belajar dari orang-orang yang memang expert di bidangnya seperti saya bilang tadi. Dari belajar selama 4-6 tahun dari teman-teman saya menguasai semuanya. Baik itu di kitchen, floor plan sampai service. Saya mendalami menu juga. Saya belajarnya dari koki-koki dunia. Saya pernah ketemu mereka semua. Jadi saya teknik masak ala Cina, Barat, saya tahu semua.

Seberapa menarik profesi tersebut dari sisi financial?

Lumayan menarik.

Berapa tarif jasa Anda?

Untuk konsultasi biasa, per jam Rp 250 ribu. Kalau ke luar kota, biaya akomodasi plus 10% dari Rp 250 ribu. Yang besar pada saat dealing-nya. Karena kan saya kasih hasil diagnosis ke pemilik restoran. Permasalahannya di mana saja, dan dia mau gunakan jasa saya di bagian yang mana? Itu nilainya variatif. Hitungannya berdasarkan jumlah kursi. Per kursi Rp 150 ribu. Itu untuk jasa konsultan saya dalam service saja. Kalau masuk kitchen lain lagi.

Ada jaminan pasti sukses menjalankan

Jadi kami hanya berikan SOP detail dari mulai service hingga kitchen yang sifatnya confidential. Dari sebelumnya punya masalah apa sampai tindakan yang harus dilakukan. Jadi, ketika kami pergi, pemilik bisa menjalankan apa yang disarankan. Selain SOP saya juga berikan training ke mereka. Jadi, begitu mereka launching tugas saya selesai.

Kecuali mereka mau pakai saya lagi tidak apa-apa. Tarifnya mulai Rp 3,5 juta per bulan. Lalu, saya juga bisa masak untuk acara pernikahan. Tarifnya Rp 350 ribu/orang. Tapi saya tidak mau masak untuk lebih dari 100 orang.

Ceritakan seperti apa sistem Anda bekerja?

Dulu saya mendirikan berbagai restoran. Kalau restoran yang saya bikin ternyata bagus dalam waktu 1,5 tahun, dan sudah BEP di bulan kedelapan maka langsung saya jual ke investor. Jadi, dulu saya sistemnya seperti itu.

Ada juga dengan cara build up restoran dengan investor, bagus, BEP dalam 8 bulan, lalu saya keluar. Itu kalau investor tidak kuat bayar jasa saya sebagai manajer karena mahal. Tapi saya tidak saja dibayar sebagai manajer. Selain dibayar operational fee, saya juga minta saham kosong. Itu kan make sense.

Siapa saja klien Anda?

Investor yang besar-besar di Semarang seperti Thamrin Square, Java Mall, Tugu Luwak, Soen Kok (Golden Flower Group) menjadi klien saya. Pebisnis senior di sini hampir semua menjadi klien saya. Termasuk pemilik Sango Indonesia di Semarang.

Jadi saya menjadi konsultan mereka dari saya menjadi manajer, men-training karyawan sampai restoran itu berjalan. Misalnya, klien menggunakan jasa saya untuk membenahi restoran yang tidak berjalan. Saya masuk situ sebagai “dokter” yang membenahi semuanya.

Contohnya Hills Restoran, Bukit Sari, Semarang. Dulu restoran itu hanya punya omset Rp 60 juta/bulan. Angka itu dianggap impas dengan biaya operasional. Akhirnya mengundang saya ke sana sekitar akhir tahun 2006. Di situ saya merekrut ulang orang-orang, termasuk orang untuk kitchen, sampai develop bagian purchasing dan pengadaan barang. Hingga semua tertib dan sistematis. Dalam waktu satu bulan, mereka bisa lari dari omset Rp 60 juta/bulan menjadi Rp 450 juta/bulan. Begitu sudah selesai, saya keluar.

Biasanya butuh waktu berapa lama untuk membenahi restoran?

Untuk membenahi restoran, yang kategori small mungkin satu minggu sudah selesai. Jadi saya bikin standard training service selama satu minggu full (5 hari). Tapi kalau restorannya besar, beda lagi. Dan saya tidak akan melebihi service. Kalau saya masuk ke kitchen, itu lebih mahal lagi. Dari semua klien saya, sekitar 40%-nya hire saya untuk masuk kitchen

Bagaimana masa depan profesi Anda?

Saya seperti pelukis, tidak mencari keuntungan. Kalau cari untung, sampai mati juga tidak ada habisnya. Tapi secara profesional mereka harus menghargai hasil kerja saya.

Apakah Anda akan tetap setia di jalur profesi ini?

Sepertinya iya. Saya juga memiliki private kitchen. Tarifnya Rp 350 ribu/orang dengan minimal 5 orang, baru saya mau masak. Dari mulai belanja bahan sampai bikin appetizer, main course, dessert. Saya masak di depan mereka. Konsumennya, expatriate yang ada di Semarang.

Rencananya saya mau ambil alih restoran milik klien saya di Jalan Depok, Semarang. Itu karena saya penasaran. Karena biasanya kalau saya maintain restoran selalu bagus. Saya mau benahi, dan tunjukkan bahwa restoran itu bisa berjalan dengan bagus. (***)

The post Nanan Wiryono “Dokter Spesialis” Restoran appeared first on Majalah SWA Online.

Causal Dinning Restaurant Lebih Tangguh Ketimbang Fastfood

$
0
0

Bisnis makanan tidak akan ada matinya, boleh dibilang demikian. “Orang setiap hari makan tiga kali,” begitu Santos Thenu, pakar bisnis kuliner itu beralasan. Ia yang sudah malang melintang di bidang pengembangan bisnis industri  FMCG, di berbagai perusahaan besar seperti Hero Supermarket, Starbucks, Burger King, Carrefour, TGIFridays Restaurant Asia Pasific, dan Lotte Mart ini mengungkapkan pengamatannya terhadap perkembangan bisnis restoran.

Menurutnya, peluang ke depan bisnis ini masih besar. Bukan hanya makanan merupakan kebutuhan setiap orang, tetapi juga karena tren gaya hidup yang juga berubah. Seperti apa penuturan lengkapnya, berikut wawancara reporter SWA Rif’atul Mahmudah dengan pria kelahiran Bandung, 2 Oktober 1969 ini:

Santos Thenu (utama)

Bagaimana pengamatan Anda tentang bisnis resto saat ini? Seberapa pesat perkembangan industrinya? Faktor apa saja yang menjadikannya demikian?

Saya mulai dari data pemerintah, data menunjukkan, masyarakat kita, khususnya yang urban, sebesar 41% konsumsinya adalah untuk makanan (grocery atau F&B), 17% lari ke properti. Jadi,  kalau dari pandangan konsumsi, potensinya besar. Kedua, kalau dari teori sandang pangan papan, orang beli rumah paling seumur hidup sekali, beli baju juga belum tentu setiap bulan sekali, tetapi kalau makanan, setiap hari.

Opportunity-nya muncul ketika gaya hidup orang Indonesia mengadopsi makanan itu seperti gaya hidup global, makan bukan sekedar kebutuhan. Orang mau meeting, makan.. hangout, makan juga. Ini mulai 1990-an, ketika ada revolusi F&B di Indonesia, banyak masuk resto-resto luar negeri.

Industri F&B jenisnya ada CDR (Casual Dining Restaurant) dan QSR (Quick Service Restaurant). Fast food itu termasuk QSR. Itu dua kelompok besarnya. Kalau kita lihat, Indonesia itu tidak pernah ada QSR, munculnya dari Barat. Tetapi dari dulu pun, Indonesia sudah tahu CDR. Untuk QSR, trigger-nya mulai ketika KFC masuk, kemudian disusul Mc Donald’s 10 tahun kemudian. QSR ini highlight-nya adalah harus buka cabang besar. Margin mereka kecil, untuk itu mereka berupaya dengan memegang market share. Jadi volumenya, harus besar. Kalau CDR beda, dia high margin. Tidak masalah tidak harus buka di banyak tempat.

SantosThenu

Salah satu high learning waktu kerja di Starbucks, saya ketemu dengan founder-nya. Starbucks ini memosisikan dirinya sebagai third place. Dia memosisikan coffee shop-nya sebagai tempat ketiga. Tempat pertama adalah rumah, tempat kedua kantor, tempat ketiga ketika hangout dengan teman adalah di coffee shop. Ideologi ini banyak menyebar kemana-mana, kita lihat banyak tempat-tempat sejenis. Para pengusaha restoran sudah memikirkan ke sana. Jadi gaya hidup orang berubah, global culture muncul. Orang Amerika ngerumpi di Starbucks, di sini pun juga.

Benarkan sudah memunculkan pemain-pemain dengan skala bisnis yang wah? Siapa saja pemain-pemain resto yang menonjol dan perkembananganya pesat menurut Anda? Siapa yang hebat dan layak disebut? Siapa jagoan-jagoan atau pemain yang skala bisnisnya paling besar?

Berdasarkan data tadi, saya melihat kita boleh bergembira sudah banyak beberapa pemain yang boleh diacungi jempol. Kalau kategori CDR, kita bisa sebut Jhony Andrean. Jhony Andrean dengan saudaranya buat salon. Kemudian dia berhasil buat J.Co, kemudian bawa franchise Breadtalk dan sekarang ada lagi Roppan. Menurut saya dia salah seorang yang brilian. Dulu salah satu klien saya waktu di TGIFriday Restaurant di Manila-Filipina, waktu itu di sana brand sedang terkenal adalah J.Co. Itu pun sudah ada ke Malaysia, China.

Solaria juga saya salut, meski dia mainnya di segmen B-C. Orang banyak yang pernah makan, kalau tidak salah sudah 200 outlet. Solaria ini masuk kategori CDR.

Kemudian yang saya acungi jempol lagi, Iga Tekko. Saya waktu itu ada klien di Malaysia. Saya di bawa ke kantor di Malaysia, ternyata Iga Tekko ada di sana.

Kalau QSR, saya belum melihat banyak, karena sarat dengan capital. Untuk masuk industri QSR, perlu modal banyak. QSR yang saya lihat berdiri, California Fried Chicken, yang dulunya pelopor franchise fried chicken. Kemudian ada juga Es Teler 77, sudah ke Australia, Malaysia.

Satu lagi yang saya salut juga, Bengawan Solo Coffee. Itu 100 persen perusahaan lokal dan bertumbuh. Brand yang harus kita banggakan juga.

Saya mau komentar, yang seringkali digembar-gemborkan, produk yang bentuknya sederhana, dia buka satu-dua lokasi langsung di franchise-kan ratusan. Tetapi kemudian tutup mendadak. Saya menekankan product life-cycle. Ini yang saya lihat, kita sebagai pemain F&B harus belajar dari luar. Sangat disayangkan kalau tutup. Industri franchise ini harus hati-hati. Jiwa entrepreneurial sudah bangkit di negara kita, tetapi saya perlu kritik banyak konsultan yang belum perhatikan life-cycle produk itu sendiri.

Saya tidak mengkritik founder-nya, saya salut mereka punya jiwa entrepreneurial tetapi saya perlu sampaikan dua hal, asosiasi harusnya membimbing mereka untuk punya backbone lebih kuat. Kemudian harusnya konsumen bisa memperoleh informasi yang jelas ketika mau membeli sebuah produk franchise.

Saya melihat industri ini berkembang dan akan terus jadi perekonomian di Indonesia, tetapi saya lihat ada survival of the fittest, ada brand yang kecil kemudian muncul. Ada Soto Pak Min, soto ayam, dia buka cabang di mana-mana ada sekitar 30 dan rasanya sesuai dengan lidah kita.

Bicara lifestyle lagi, orang Indonesia itu unik. Ketika tren fashion, ada jins masuk, itu begitu cepat diterima. Mobil demikian juga. Tetapi tidak dengan makanan. Saya simpulkan, F&B yang akan bangkit ya yang sesuai lidah Indonesia. Kenapa sampai sekarang tidak ada resto Meksiko yang sukses di Indonesia, karena tidak sesuai dengan lidah kita.

Jadi kalau mau buka resto masakan luar, harus fusion menu-nya?

Tidak juga. Saya lebih mendukung produk Indonesia. Kalau ada dana, saya akan arahkan dana saya untuk bangun konsep yang sesuai lidah Indonesia. Tetapi kemasannya boleh dong kalau ambil inspirasi dari luar. Di Indonesia baru terima burger itu baru generasi-generasi kita. Orang tua saya mana mau makan burger. Budaya dalam hal ini Indonesia harus diperhatikan, product life-cycle bagaimana, backbone juga. At the end, ini adalah gabungan antara art dan science dalam mengembangkan bisnis ini.

Bagaimana karakteristik bisnis resto? Apakah easy come easy go?

Di Indonesia belum ada studinya. Tetapi di Amerika sudah ada studi bahwa untuk non-franchise dari 100 toko, yang tutup 80.  Jadi survival-nya 20%. Kalau franchise cenderung lebih survive, meski bagi yang mau beli franchise harus keluar biaya yang lebih mahal. Menurut saya kesuksesan bisnis F&B ini ada beberapa faktor. Kalau boleh dirangkum, pertama, produknya sudah bisa diterima oleh lidah Indonesia. Kedua, kapasitas modal harus diperhatikan. Banyak orang cuma memikirkan untuk bulan pertama, padahal bulan kedua dan ketiga mereka masih harus nombok juga. Ketiga, lokasi. Ini sangat penting. Dari studi di Amerika, 80 tutup itu hampir separo lebih karena salah tempat. Tetapi faktor lain seperti HRD dan lainnya, 4P, produk, price, promo, place, people itu penting, tidak boleh lupa.

Lantas, bagaimana karakteristik persaingan di bisnis resto?

Untuk QSR  yang franchise punya kesempatan survive yang lebih besar. Kalau yang CDR, saya lihat medannya masih luas, market-nya masih luas, pemainnya pun beragam dan banyak yang survive. Contohnya orang beli franchise Iga Tekko masih survive, orang ga beli franchise pun masih survive. Jadi yang CDR ini menurut saya lebih cocok dengan budaya kita daripada yang fastfood. Saya sangat bersyukur, orang seperti Pak Bondan boleh dibilang seperti pahlawan yang mengenalkan berbagai kuliner kita. Mata kita terbuka bahwa banyak kuliner lokal yang belum digarap. Dari makanan padang pun, bisa dibuat variasi lainnya tetapi backbone-nya tetap backbone.

Sudahkah sistem dijalankan dengan baik di bisnis ini? Bagaimana tingkat profesionalisme dan ciri-ciri mereka pada umumnya?

Mereka umumnya sudah paham. Kita bisa lihat bahwa mereka growing, meski belum sampai puncak, tetapi on the right track.

Berapa besar market size bisnis resto?

Saya lebih pakai data awal tadi bahwa 41% konsumsi larinya ke FMCG. Sizing susah sekali di-track karena datanya biasanya dari pemerintah. Banyak sekali F&B, datanya ambigu. Tetapi kita tahu bahwa orang makan tiga kali sekali. Terjadi pergeseran gaya hidup juga. Dari tadinya 3x di rumah, sekarang bisa jadi kita makan empat kali, dua di rumah, dua di luar. Termasuk snacking, roti, menurut saya besar sekali industri ini. Ada domino efeknya juga ke industri-industri katering ke kantor-kantor, supplier dsb.

Peluang-peluang dan tren apa saja yang bisa digarap? Bagaimana tren ke depan?

Tetap masakan lokal dengan marketing yang berbeda, gimmick yang berbeda. Kedua saya melihat pergeseran dari Barat ke Timur. Dulu orang Indonesia beli franchise dari Amerika, Eropa, sekarang mulai bergeser ke Jepang, Korea. Ini mendukung kebangkitan Asia. (***)

 

 

The post Causal Dinning Restaurant Lebih Tangguh Ketimbang Fastfood appeared first on Majalah SWA Online.


Konsisten Menjaga Restoran Garuda Tetap Mengangkasa

$
0
0

Bagi masyarakat Kota Medan, nama Restoran Garuda telah masyhur sebagai rumah makan yang menyajikan hidangan bercita rasa tinggi. Bisa dikatakan, Restoran Garuda merupakan trendsetter di Ibukota Provinsi Sumatera Utara tersebut dalam hal kuliner. Kini, Restoran Garuda telah memiliki 16 cabang di beberapa kota seperti Medan, Bandar Lampung, Jakarta, dan Singapura serta menjadi sumber rezeki bagi 1.000 orang karyawannya.

Restoran Garuda - Sumber: RestoranGaruda.com

Restoran Garuda – Sumber: RestoranGaruda.com

Sebagai generasi kedua yang melanjutkan usaha peninggalan ayahnya ini, Desy Wahyuni bersama abangnya bahu membahu menjalankan Restoran Garuda. Merupakan tantangan besar untuk menjaga citra dan nama baik dari rumah makan yang telah berdiri selama hampir 40 tahun. “Restoran Garuda ini didirikan Papa pada bulan Oktober 1976. Dulu Papa merantau dari Bukittinggi ke Medan, untuk memulai usahanya. Awalnya di Pusat Pasar Medan berdagang kain. Beberapa kali mengalami musibah kebakaran, membuat Papa berpikir untuk beralih profesi,” ujar Desy.

Nama Garuda tercetus ketika sang ayah, H. Bakhtar hendak memutuskan terjun ke bisnis kuliner. “Nama Garuda simple dan gampang diingat, kenapa restorannya tidak dinamakan Garuda saja. Papa tidak memiliki basic memasak, namun ia optimistis membangun usaha ini dan belajar dari sanak saudara. Papa menunjuk orang yang dapat dipercaya untuk menangani urusan dapur, sementara ia menjadi konseptornya,” tambahnya.

Ciri khas Restoran Garuda adalah memadukan dua suku dalam makanan, yakni cita rasa Minang Melayu. “Karena Papa asli dari Padang, sedangkan Melayu-nya karena usaha ini didirikan di Medan yang dikenal sebagai tanah Melayu,” jelas Desy. Di samping itu, Restoran Garuda selalu mengutamakan kualitas mulai dari bahan bakunya, sehingga rasa masakannya tidak berubah sejak dahulu. Keluarga selalu menjaga resep turun temurun dan mampu mempertahankan mutu di seluruh cabang. Hal inilah yang diyakini ibu dari tiga orang anak ini sebagai kunci kesuksesan Restoran Garuda.

Diakui Desy, semua pencapaian Restoran Garuda saat ini tidak diraih dengan singkat. Pada tahun-tahun awal, usaha ini harus “buka tutup lubang” untuk bisa beroperasi. Desy mengenang, uang yang seharusnya digunakan untuk kebutuhan hidup sehari-hari pun, kadang harus berubah fungsi menjadi modal usaha. “Papa pernah bilang, kita bukan dari orang yang hidupnya langsung enak. Kita memulai usaha ini dari lubang tutup lubang. Hingga akhirnya Papa meninggal, Alhamdulilah tidak ada utang. Karena fokus dan serius, kita bisa mulai memiliki aset sendiri dan tidak menyewa lagi. Saat ini hampir semua cabang milik sendiri,” katanya.

Sepeninggal H. Bakhtar awal tahun 1980-an, restoran yang terkenal dengan rendangnya ini dikelola oleh anak sulungnya. Perlahan namun pasti, Restoran Garuda mulai berkembang, dari yang awalnya menyewa tempat, hingga memiliki tempat sendiri. Dari yang mulanya berada di belakang gedung, kini semua cabangnya berada di pinggir jalan raya. Dan menu yang sebelumnya berjumlah 20-an, kini telah berkembang menjadi 30-an menu. Bahkan, Restoran Garuda telah memiliki anak perusahaan yang bergerak di ranah yang sama, yaitu Restoran Berjaya.

Selain mempertahankan tradisi, berbagai inovasi pun dilakukan Restoran Garuda untuk senantiasa mampu mengikuti keinginan pelanggan yang dinamis. Sebut saja berpromosi melalui internet, bekerja sama dengan penyelenggara jasa travel, melayani pesan antar, dan meningkatkan keramahan pelayanan. Pihak restoran juga menyediakan ruangan yang cukup besar untuk dapat dimanfaatkan para pelanggan sebagai tempat rapat dan pertemuan.

Sejak Restoran Garuda dikelola oleh generasi kedua, keluarga Bakhtar semakin intens mengandeng BCA untuk layanan perbankannya. Tidak hanya untuk keperluan penyimpanan dana, tetapi juga memanfaatkan berbagai fasilitas yang bisa membuat usahanya semakin berkembang. Salah satunya menggunakan EDC BCA untuk kemudahan transaksi di seluruh cabangnya, serta menggunakan KlikBCA Bisnis yang mudah dan praktis untuk berbagai transaksi bisnis.

Desy menjelaskan, sejak berdiri di tahun 1976 hingga memiliki cabang, BCA juga sudah berperan dalam memberikan permodalan bagi Restoran Garuda. Dengan kata lain, sudah lebih dari 30 tahun pihaknya menjadi nasabah BCA. “BCA itu ada di mana pun dan pelayanannya tidak diragukan lagi. Hampir semua fasilitas dari BCA sudah kami gunakan seperti m-BCA, KlikBCA, dan lain-lain. Kemudahan yang diberikan BCA itu membuat kami setia menjadi nasabah hingga generasi kedua ini,” ujarnya seraya tersenyum.

BCA Senantiasa di Sisi Anda

The post Konsisten Menjaga Restoran Garuda Tetap Mengangkasa appeared first on Majalah SWA Online.

Inovasi Baru Pancious dengan Cita Rasa Khas Amerika

$
0
0

Kuliner merupakan salah satu bisnis yang cukup berkembang di Indonesia, salah satunya yaitu western culinary. Inovasi dan penemuan baru pun banyak diciptakan untuk menggaet konsumen baru maupun lama. Pancious pun tak ingin ketinggalan, sebagai salah satu dining yang sudah berkecimpung selama 8 tahun di Indonesia, mereka pun kembali mengeluarkan inovasi terbaru.

Konsep terbaru yang dibawa adalah Brooklyn American Cakery. Cake ini nantinya diharapkan dapat menjadi pelopor kue khas Amerika. “Kami yakin kami dapat terus berinovasi untuk menghasilkan berbagai kuliner dengan mutu tinggi. Hal ini didukung dengan tim R&D kami yang cukup solid,” jelas Fransisca Tjong, Marketing Director Pancious Group.

Ia pun menambahkan bahwa Brooklyn hadir sebagai salah satu penyemarak sajian Pancious dengan menyajikan kue tentik khas Amerika. Penggunaan material kue ini pun menggunakan manisan, kacang-kacangan dengan berbagai rempah yang kaya akan rasa.

varian baru dari Brooklyn American Cakery

varian baru dari Brooklyn American Cakery

Kue ini tersedia dalam dua ukuran yaitu 6 cm x 6 cm dengan diameter 16 cm dan 24 cm. Ada lima varian rasa yang ditawarkan, yaitu Chocolate marshmallow, Brooklyn salted caramel honeycomb, lemon meringue, carrot crumble, dan banana palm.

Kue ini ditargetkan untuk keluarga ataupun individu, baik untuk acara fomrla maupun nonformal. Agar mempermudah oembelian konsumen, kue ini adapt dibeli di gerai-gerai pancious di Jakarta serta Serpong atau memesan langsung di website.

Dining yang tersebar di Jakarta, Bandung, dan Surabaya ini juga sengaja menyediakan jasa pemesanan dan pengantaran kue. Pemesanan dan pengantaran ini dilakukan sebagai salah strategi Pancious dalam menggaet pelanggan. Selain itu, kualitas pun menjadi salah satu kunci utama dalam menjaga kepercayaan konsumen. Salah satunya dengan memastikan bahwa produk yang dikirim haruslah fresh from the oven, dengan waktu pengiriman maksimal 2 jam dari kitchen hingga tiba di tangan konsumen,  Box pun dibuat dari kualitas khusus dan diantar dengan insulated ice box, serta pengendara yang memiliki standar berkendara dengan baik.

Pelanggan pun disarankan untuk melakukan pemesanan dua hari sebelum tanggal pengiriman atau pengambilan. Selain itu, demi memuaskan konsumen kue juga bisa dihiasi dengan ucapan tertulis yang dibatasi 30 karakter. (EVA)

 

The post Inovasi Baru Pancious dengan Cita Rasa Khas Amerika appeared first on Majalah SWA Online.

Sinergi Sinar Mas Land – Wee Nam Kee Hadirkan Kuliner baru

$
0
0

Masyarakat Indonesia tentunya sudah tidak asing dengan nasi ayam hainan yang banyak disajikan di berbagai rumah makan seantero nusantara. Singapura sebagai negara tetangga Indonesia bahkan menjadikan menu tersebut sebagai menu nasional mereka. Oleh sebab itu, ketika menyebutkan Nasi Hainam, yang terlintas adalah Singapura.

IMG-20151104-WA0000-640x427

Sinar Mas Land (SML), pengembang BSD City, terus melebarkan sayap guna memuaskan kebutuhan gaya hidup masyarakat. Kali ini, SML menggandeng salah satu restoran Hainanese Chicken Rice yang terkenal di Asia, Wee Nam Kee untuk membuka cabang pertama di Indonesia.

Kehadiran resto ini di The Breeze BSD City berkontribusi pada kepuasan dan gaya hidup masyarakat, terutama di sektor kuliner. Sebagai salah satu retoran yang memiliki nama di asia, Wee nam kee memiliki lebih dari 10 cabang di Indonesia yang tersebar di Singapura, Filipina, Jepang, Indonesia dan Korea Selatan.

Mulyawan Gani, Managing Director Emerging Bussines Sinar Mas Land, menyebutkan bahwa dirinya memilih Wee nam Kee untuk memeriahkan The Breeze karena resto ini memiliki nilai tambah. Selain sudah memiliki nama, Wee Nam kee memiliki reputasi yang sangat baik di dunia.

“Wee Nam Kee memiliki reputasi yang baik di dunia internasional. Bahkan bagi pemburu kuliner Singapura, Resto ini masuk dalam daftar resto yang wajib dikunjungi,” ujar Mulyawan. Kehadiran Wee Nam Kee merupakan salah satu upaya SML memuaskan para pelanggan The Breeze, terutama dalam gaya hidup di sektor kuliner.

“Kami berharap kehadiran Wee Nam Kee dapat memberikan pengalaman tak terduga bagi pelanggan The Breeze tanpa harus pergi ke Singapura. Selain itu, kehadiran Wee Nam Kee Sendiri otomatis memberikan warna tersendiri bagi The Breeze BSD City,” ujar Mulyawan.

Pembukaan cabang pertama di Indonesia tentu saja disambut baik oleh Wee Liang Lian, qwner sekaligus generasi kedua dari resto Wee Nam Kee. “Penawaran dari Sinar Mas Land  merupakan kesempatan dari kami untuk memperkenalkan orisinalitas dari Nasi Hainam Singapura. Selain itu, kami juga memandang pasar Indonesia sebagai pasar yang memiliki prospek bagus,” tutup Wee. (EVA)

The post Sinergi Sinar Mas Land – Wee Nam Kee Hadirkan Kuliner baru appeared first on Majalah SWA Online.

Bisnis Makanan Sehat Anie Tidara

$
0
0

Identik dengan gaya hidup sehat tidak semata mata membuat Anie Tidara diam di situ saja. Itulah yang mengilhaminya memiliki ide untuk menjalankan bisnis. Ide bisnisnya cukup sederhana. Membuat makanan sehat yang mudah dan nikmat untuk dikonsumsi oleh banyak orang.Dari situ muncullah idenya untuk mengolah chia seeds menjadi makanan yang sesuai untuk dikonsumsi semua orang.

LsiEJzzb90

Anie Tidara, (Sumber: Google Image)

“Saya memang suka dengan gaya hidup sehat. Pada saat saya latihan yoga, banyak sekali orang yang tidak makan. Mereka hanya mengonsumsi chia seed, sudah kenyang. Dari situlah saya mencari tahu, apa sebenarnya chia seeds itu,” papar Anie

Dari keingintahuan Anie, ia menemui bahwa chia seeds secara umum merupakan salah satu jenis super food yang memiliki kandungan gizi yang tidak kalah dengan makanan pada umumnya. Chia seed memiliki kandungan kalsium 5x lebih banyak daripada bayam, serta kaya vitamin dan omega 3. Namun oleh kebanyakan orang, chia seeds ,masih dikonsumsi dengan cara yang sederhana, yakni dicampur dengan air hangat. Ini yang menyebabkan Anie terbersit keinginan untuk mengolah superfood tersebut menjadi variatif.

“Biasanya chia seeds ini diminumnya dengan dicampurkan air hangat. Tapi kalau dilakukan terus menerus rasanya sangat membosankan ya. Kebetulan saya memang suka memasak. Jadilah saya mencoba mengolah chia seeds ini dengan menggunakan resep puding,” ujar Anie.

Ternyata ide ini diterima dengan baik. Menurut Anie yang memulai bisnisnya di tahun 2014 tersebut, hal ini tidak lepas dari momentum bahwa pada saat itu semua orang sedang conscius terhadap hidup sehat. Pertama kali, Anie dan rekannya memasarkan melalui online. Ia membanderol produknya dengan harga Rp 50 ribu hingga Rp 75 ribu rupiah. Sasarannya memang orang yang peduli terhadap kesehatan. Hingga pada akhirnya, Anie dan rekannya berhasil masuk ke outlet Rejuve.

“Pertama kali kami memang memasarkan melalui online, yakni instagram. Namun saat ini kami sudah mulai distribusi ke outlet rejuve, sekitar 13 outlet. Sisanya di instagram kami buat by order,” tambah Anie.

Memulai bisnis makanan ini bukanlah suatu perkara yang mudah. Selain berbisnis chia seeds pudding, Anie juga bekerja di sebuah kantor konsultan. Untuk mengelola bisnisnya, Ia dibantu dengan salah seorang rekannya serta berusaha berdamai dengan waktu. Apalagi perhari, Selain itu, karena puding yang diproduksi oleh Anie merupakan jenis Raw Food, pengelolaannya harus hati hati karena tidak bisa dibiarkan dalam ruangan terbuka.

“Setiap hari, saya menyiapkan bahan untuk chia seeds puding, karena harus direndam terlebih dahulu. Saya bangun pukul 3 pagi untuk membuat puding, dan pukul 7 didistribusikan. Menyimpan produk ini tahan 4 hari di kulkas. Namun jika dibiarkan di ruangan terbuka, hanya tahan 3 jam saja karena ini termasuk golongan raw food sehingga rawan terjadinya oksidasi,” tutup Anie. (EVA)

The post Bisnis Makanan Sehat Anie Tidara appeared first on Majalah SWA Online.

Bebek Goreng Pak Ndut, dari Solo ke Mancanegara

$
0
0
Agus Ahmadi, Pemilik Bebek Goreng Pak Ndut
Agus Ahmadi, Pemilik Bebek Goreng Pak Ndut

Agus Ahmadi, Pemilik Bebek Goreng Pak Ndut (Doc. SWA)

Bisnis keluarga yang dimulai tahun 1997 di Solo ini, berawal dari warung makan kecil di depan rumah sang pemiliknya yaitu Sri Sabianti. Perempuan berusia 57 tahun itu memulai usaha dengan menjual berbagai jenis makanan seperti gado-gado, ayam bakar, ayam goreng, sate, bebek goreng, dll. Tetapi menu yang paling laku dibeli adalah bebek goreng dan ayam.

Kemudian muncul ide untuk membuka warung makan bebek goreng.Warung kecil itu pun dimulai dengan 2 meja dan kursi makan milik pribadi. Sedangkan untuk nama Bebek Goreng Pak Ndut dipilih karena suami sang pemilik memiliki tubuh yang gendut. Dalam perjalanannya, bebek goreng pun mulai melebarkan sayapnya menjadi sebuah perusahaan, yaitu PT Indo PD Mandiri.

Dapat dikatakan tahun 2002 merupakan batu loncatan pertama untuk bisnis ini. Agus Ahmadi, anak pemilik yang meneruskan bisnis orangtuanya ini memutuskan tidak melanjutkan bekerja sebagai TKI di Korea dan kembali ke Indonesia. Ia mulai membangun manajemen dan meminta kepada sang ibu untuk membesarkan warung bebeknya.

“Saya sempat menemui kendala karena ibu merasa sungkan dengan tetangga sekitar rumah, 2 tahun kemudian baru mendapat persetujuan. Warung kecil di depan rumah saya perluas hingga ke ruang tamu. Bahkan seluruhnya sudah menjadi warung makan. Hanya menyisakan satu kamar untuk bapak dan ibu, karena beliau tidak ingin pindah rumah,” katanya.

Dimulainya Bisnis Waralaba

“Tahun 2004, saya sempat duduk lama di parkiran gerai KFC. Saya berpikir masa mereka bisa laris ke seluruh dunia, Bebek Goreng Pak Ndut juga bisa,” ujar pria kelahiran Sragen, 20 Januari 1973 ini sambil tertawa.

Memiliki visi menyediakan makanan halal ke seluruh dunia, Bebek Goreng Pak Ndut memulai membuka franchise (waralaba). Tahun 2009, ketika satu rumah sudah menjadi warung makan, banyak pelanggan yang meminta untuk membuka cabang pertama. Saat itu, karena tidak mengetahui bagaimana cara mengelolanya, ia banyak membaca buku terkait bisnis tersebut.

Berbagai kendala ia temui seperti franchise yang tidak menjaga SOP pusat. Adapula masalah transportasi untuk mengirim bebek, dimana setiap pengiriman tersebut harus sampai di tujuan maksimal tiga hari. Semua pasokan bebek dan bumbu dikirim dari kantor pusat 3 kali dalam seminggu sebanyak 1500 potong/hari untuk semua outlet.

Bebek-bebek tersebut dibeli dari peternak bebek di wilayah Jawa Timur, dimana dipilih bebek yang sudah tidak bertelur dengan umur sekitar 1,5 sampai 2 tahun. Untuk pendistribusian, terdapat 5 koordinator yang akan diaudit kinerjanya setiap setahun sekali. Selain itu untuk menjaga standar mutu, perusahaan sedang membangun Rumah Pemotongan Hewan (RPH) yang berstandar nasional.

Untuk menjaga kelangsungsan bisnisnya, perusahaan memperkuat sistem. Ia mengatakan bahwa perusahaannya menjual sistem. Banyak orang yang mahir memasak bebek, tapi sistem bisnis yang kuat adalah utama. “Target kami dapat mengontrol dari hulu ke hilir, dari peternak sampai konsumen akhir. Keamanan supplai, SOP harus ditaati franchise untuk mejaga kekuatan brand,” tambahnya.

Keahliannya menjalankan bisnis franchise pun diakui oleh rekan bisnisnya.“Dalam membeli franchise saya juga mempertimbangkan image dari perusahaan dan sistem di dalamnya, sehingga sampai sejauh ini saya merasa senang bekerja sama dengan Pak Agus. Ia juga memacu kinerja dari setiap franchise seperti memberi reward dan punishment,” ungkap Bagyo Ratmanto, pemilik 3 outlet franchise di Depok dan Bogor.

Sudah 18 tahun berdiri, sekarang ia sudah memiliki outlet ke 54. Dimana 3 outlet dikelola pusat, yaitu di Solo, Kartosuro, dan Balikpapan. Sedangkan sisanya merupakan franchise yang tersebar di seluruh Indonesia seperti pulau Jawa, Pontianak, Samarinda, Balikpapan, Banjarmasin, Makassar, dll. Selain itu juga terdapat satu outlet di Singapura.

Dalam memilih wilayah outlet, ia mempertimbangkan berbagai alasan seperti market konsumen sudah terbentuk, dimana lokasi tersebut merupakan daerah kuliner dan strategis. Selain itu, ia membidik segmen keluarga.

20151221_130846

Doc. Tifa/SWA

Untuk menu Bebek Goreng Pak Ndut menyajikan menu yang lebih variatif seperti bebek sangan, bebek lada hitam, dan bebek asam manis. Dari semua menu, hampir 70 persen yang paling sering dibeli adalah bebek sangan, yaitu bebek yang disangrai atau digoreng tanpa minyak dengan penggorengan tanah. Dalam penentuan harga, ia menyesuaikan dengan lokasi outlet. Jika di wilayah Jawa Tengah kisaran harga makanannya Rp 16 ribu- Rp19 ribu, di Jabodetabek dan luar Jawa bisa mencapai Rp 21 ribu- Rp 30 ribu.

“Dari semua gerai, yang paling laris di Kalimantan Timur. Daya beli disana tergolong tinggi dan banyak pendatang. Kami memiliki 3 outlet disana, yaitu satu di Balikpapan dekat Bandara Sepinggan, lalu 2 di kota Samarinda,” ungkapnya.

Promosi pun gencar dilakukan, baik melalui media konvensional seperti koran lokal, hingga media social, flyer, dll. Begitu pun ketika melakukan grand opening pun, pemilik akan mengirimkan voucher makan ke perkantoran sekitar. Agus mengatakan bahwa sekitar 50 persen peran media cetak sangat besar untuk mendongrak penjualan. Hal ini terbukti bahwa dalam setahun omset franchise naik hingga diatas 50 persen.

Target Bisnis 2016

Memasuki tahun 2016, Bebek Goreng Pak Ndut memiliki banyak target baru. Jika di tahun 2015, perusahaan membangun satu outlet setiap bulan, maka tahun depan akan naik menjadi 3 outlet/bulan di seluruh Indonesia. Salah satunya ialah merambah wilayah Indonesia Timur, yaitu Maluku dan Papua.

Tetapi menurut pria lulusan D3 Bahasa Inggris Kampus ABBA Solo ini, untuk memasok bahan baku kesana masih terkendala transportasi. Untuk pengiriman ke Maluku masih akan menggunakan pesawat karena dapat ditempuh dalam waktu 1 hari. Sedangkan untuk wilayah Papua kemungkinan akan menggunakan kapal yang memiliki freezer.

Tidak puas hanya di Indonesia, tahun depan negara seperti Mekkah, Madinah, Berlin, dan Malaysia akan menjadi franchise selanjutnya. Kendala membuka franchise diluar negeri adalah sulit mencari tenaga kerja. “Waktu saya buka di Singapura, perbandingan SDM itu 5 berbanding 1, itu berarti 5 pekerja Singapura dan hanya 1 orang Indonesia. Padahal orang Singapura jarang yang ingin kerja di resto. Akhirnya setelah setengah tahun, baru dapat satu pekerja Indonesia, dan itupun orang kantor pusat yang dikirim untuk kerja disana,” katanya.

Nantinya di tahun 2016, outlet sudah ada 5 negara. Sehingga total hingga akhir tahun depan terdapat 36 outlet franchise. Sedangkan outlet yang dikelola pusat, direncanakan akan ada di Balikpapan, Tenggarong, Bontang, dan Tarakan. (EVA)

The post Bebek Goreng Pak Ndut, dari Solo ke Mancanegara appeared first on Majalah SWA Online.

Viewing all 8347 articles
Browse latest View live